Cinta Sejati itu…

Cinta Sejati itu…

Paulo Coelho dalam bukunya “Sang Alkhemis” menulis begini: “Kau harus mengerti, cinta tak pernah menghalangi orang untuk mengejar takdirnya. Kalau dia melepaskan impiannya, itu karena cintanya bukan cinta sejati, bukan cinta yang berbicara Bahasa Dunia.” Saya sepakat dengan beliau yang mengatakan bahwa cinta tak pernah menghalangi orang untuk mengejar takdirnya. Cinta justru membuka pintu-pintu dan jendela-jendela hati yang tertutup rapat, meruntuhkan sekat-sekat pemisah dan tembok-tembok yang menghalangi orang untuk mengalami cinta kasih. Cinta itu universal. Cinta sejati tidak pernah pudar. Hanya orang-orang yang belum mengalami kasih sempurna, dengan sendirinya belum mampu untuk menghayati cinta sejati. Cinta sejati adalah pengalaman hidup bukan sebuah khayalan, bukan juga sebuah dunia maya tetapi sebuah dunia nyata.

Saya pernah membaca buku Life-Giving Love. Embracing God’s Beautiful Design for Mariage, karya Kimberly Hahn. Beliau mengutip kisah sebuah keluarga dalam film Yours, Mine and Ours. dalam film itu terdapat dua buah skenario yang dilakonkan secara berurutan satu sama lain. Pertama, seorang remaja perempuan sedang mengalami tekanan yang luar biasa dari pacarnya untuk berhubungan sex sebagai bukti cintanya. Kedua, Ibu dari gadis ini sedang menyiapkan kelahiran anak pertama dari ayah tirinya, yang sekaligus menjadi anak kesembilan dalam keluarga ini. Ketika itu ayah tirinya keluar membawa ibunya ke mobil, anak perempuan itu bertanya tentang apa yang harus dilakukannya? Ayah tirinya menjawab: “Bukan tidur dengan seorang pria yang membuktikan bahwa kamu mencintainya. Tapi setiap hari bangun pagi-pagi dengannya dan bersama-sama menghadapi hal-hal yang menjemukan, menyedihkan, membahagiakan, inilah yang membuktikan bahwa kamu mencintainya.” Anak perempuan ini benar-benar mendapat pencerahan. Ia memandang pacarnya dan berkata: “Jadilah dewasa!”

Cinta sejati itu penuh dengan pengorbanan diri. Konfucius mengatakan bahwa cinta sejati itu tidak ada kejahatan di dalamnya. Banyak orang berpikir bahwa cinta sejati itu penuh kenikmatan seperti yang dialami oleh para suami dan isteri. Ini tentu sangatlah dangkal. Cinta sejati itu dapat bertahan ketika orang berani berkorban bagi pasangannya. Berani berkorban berarti bangun pagi-pagi dengannya dan bersama-sama menghadapi hal-hal yang menjemukan, menyedihkan, membahagiakan sepanjang hari. Cinta sejati seorang imam dan biarawan biarawati adalah mengurbankan diri untuk melayani Tuhan sebagai wujud kasih sampai tuntas. Cinta sejati itu ketika orang bertahan dalam penderitaan supaya orang lain menjadi bahagia.

Saya mengingat perkataan St. Paulus: “Sebagaimana kalian dahulu telah menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan yang membawa kalian kepada kedurhakaan, demikianlah sekarang kalian harus menyerahkan anggota-anggota tubuhmu menjadi hamba kebenaran yang membawa kalian kepada pengudusan” (Rm 6: 19). Banyak orang mudah menyerahkan tubuhnya karena ia belum tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa tubuhnya itu kudus. Dia menjadi hamba kecemaran dan kedurhakaan karena hanya mau merasakan kenikmatan-kenikmatan daging saja. Kalau saja ia mampu menjaga kekudusan anggota-anggota tubuhnya maka kekudusan tubuh adalah jaminannya. Dia benar-benar mengalami cinta sejati dalam hidupnya.

Para orang tua dan pendidik, kita semua dipanggil untuk menyampaikan kepada anak-anak kita supaya menjaga kekudusan tubuhnya. Tubuh kita itu kudus karena sebagai shekina atau tempat bersemanyamnya Roh Kudus. Kita membantu anak-anak dan remaja untuk menjaga kekudusan tubuhnya, dengan demikian ia juga akan menjaga kekudusan tubuh sesamanya. Tetapi semua ini harus di mulai dari dalam diri para orang tua. Kalau saja orang tua tidak memiliki cinta sejati maka sulitlah untuk mendidik dan meyakinkan anak-anak tentang kekudusan keluarga, kekudusan cinta kasih. Keteladanan dari orang tua dan para pendidik sanglah penting. Teladan hidup nyata berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang keluar dari mulut kita.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Sir Walter Raleigh, Courtier dan penulis dari Britania Raya (1552-1618). Ia berkata: “Cinta sejati serupa api abadi. Selalu terbakar, tak pernah sakit, tak pernah tua, tak pernah mati. Tak pernah pula berpaling.”

Mari kita memeriksa bathin kita masing-masing: Apakah ada cinta sejati dalam hidupku? Apakah cinta sejati itu berguna? Mulailah cinta sejati dari dirimu sendiri. Kalimat ini mengatakan sesuatu kepadamu: “Bukan tidur dengan seorang pria yang membuktikan bahwa kamu mencintainya. Tapi setiap hari bangun pagi-pagi dengannya dan bersama-sama menghadapi hal-hal yang menjemukan, menyedihkan, membahagiakan, inilah yang membuktikan bahwa kamu mencintainya.”

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply