Homili 3 November 2017

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXX
Rm. 9:1-5
Mzm. 147:12-13,14-15,19-20
Luk. 14:1-6

Belajar pada Yesus!

Saya pernah melihat sebuah pembatas buku, dengan gambar Tuhan Yesus yang dikelilingi oleh para pemungut cukai. Ada tulisan pada bagian bawah gambar itu: “Belajarlah pada Yesus”. Saya memperhatikan gambar pada pembatas buku dengan saksama dengan berfocus pada sorot mata dan gerak tubuh Tuhan Yesus. Saya menemukan betapa hebatnya Tuhan Yesus Kristus. Sorot mata dan gerak tubuh-Nya dalam gambar menunjukkan kualitas kasih-Nya yang begitu besar kepada para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Pengamatan saya kali ini memang tidak keliru sebab Tuhan Yesus sendiri datang dan bergaul dengan orang-orang berdosa, koruptor, pelacur, orang-orang jahat dalam kategori manusia supaya mereka berubah menjadi manusia baru. Gambar yang sama mengoreksi cara pandang dan cara pikir manusiawi kita terhadap sesama. Banyak kali kita kehilangan kemampuan untuk memiliki pikiran yang positif kepada sesama. Kita mengadili hidup sesama menurut cara padang dan cara hidup pribadi kita. Ini benar-benar keliru, namun kita tetap sadar dan mau melakukannya. Kita lupa bahwa setiap orang berbeda satu sama lain?

Kita mendengar kisah Injil yang menarik perhatian kita pada hari ini. Lukas mengisahkan bahwa pada suatu hari Sabat, Tuhan Yesus diundang untuk bersantap bersama di rumah seorang Pemimpin kaum Farisi. Undangan semacam ini tentu mengherankan dan menghebokan banyak orang terutama kaum Farisi. Mereka selalu bertentangan dengan Yesus namun ada seorang pemimpin mereka yang sangat terbuka kepada Yesus dan mengundang-Nya untuk santap bersama di rumahnya. Kehadiran Yesus menimbulkan tanda tanya, kecurgaan dan kebahagiaan. Hal ini ditandai dengan sikap mereka yang mengamat-amati Yesus dengan saksama. Sikap curiga ditunjukkan oleh banyak orang terhadap Yesus yang tidak takut untuk melakukan revolusi mental dengan berbuat baik di Hari Sabat. Kebahagiaan dialami orang-orang sakit yang akan disembuhkan Yesus.

Di antara orang-orang yang berada di rumah pemimpin Farisi, terdapat seorang yang sakit busung air. Ia percaya bahwa Yesus akan berbuat yang terbaik baginya yakni melepaskanya dari sakit yang sedang dialaminya. Ia langsung berdiri di hadapan Yesus dan memohon untuk disembuhkan. Yesus mengetahui sikap legalisitis kaum Farisi, sebab itu Ia bertanya kepada mereka semua, apakah Ia dapat menyembuhkan orang itu pada hari Sabat. Mereka semua terdiam menunjukkan bahwa mereka tidak mampu melawan kuasa Allah di dalam Yesus Kristus. Mereka tidak mampu membantah-Nya. Tuhan Yesus pun menyembuhkan orang sakit ini dan menyuruhnya pergi.

Perikop Injil yang kita dengan pada hari ini sangat meneguhkan kita untuk belajar banyak dari Yesus. Kita mengakui diri sebagai orang Kristen, sebab mengikuti Tuhan Yesus Kristus, namun apakah hidup kita benar-benar hidup sebagai orang Kristen atau tidak. Tuhan Yesus bergaul dengan orang-orang berdosa sebab Ia mengasihi mereka. Ia membenci dan menghancurkan dosa-dosa tetapi kaum pendosanya sangat disayangi. Kita belajar dari Yesus dan berlaku sepertinya. Kita bergaul dengan kaum pendosa bukan berarti kita identik dengan mereka. Kehadiran kita harus mengubah hidup mereka karena seribu satu kebajikan yang kita miliki dan kita bagikan kepada mereka.

Kita belajar untuk tidak menjadi pribadi yang legalistis. Hukum dan peraturan-peraturan haruslah mengabdi kepada kemanusiaan. Kasih dan keadilan haruslah menjadi nomor satu dalam hidup kita. Untuk itu kita belajar dari Yesus untuk berbuat baik kapan dan di mana saja. Kita berbuat baik tanpa ada alasan untuk menerima balas jasa. Mari kita masuk ke dalam diri kita masing-masing. Banyak kali kita melayani dan berbuat baik tetapi selalu dengan banyak perhitungan manusiawi. Kita berbuat baik tetapi takut untuk menjadi miskin. Kita berbuat baik tetapi suka menceritakan perbuatan itu kepada sesama supaya dipuji dan disegani. Tuhan tidak pernah mengajar kita seperti ini.

Apa jawaban kita terhadap kasih Tuhan Yesus Kristus? Kita harus memiliki satu prinsip yang jelas bahwa Tuhan Yesus adalah segalanya bagi kita dan segala sesuatu yang ada dalam diri kita juga hanya bagi Yesus. Kita harus berani untuk mempersembahkan diri secara total kepada Tuhan dan sesama. St. Paulus pernah berkata: “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” (Kol: 1:16). Segalanya bagi Yesus.

St. Paulus dalam bacaan pertama membagi pengalamannya bagi Jemaat di Roma. Ia berjanji untuk mengatakan kebenaran. Ia mengakui dengan suara hati-Nya yang jernih dan bantuan Roh Kudus, bahwa ia berduka dan bersedih hati, bahkan rela terpisah dari Kristus demi saudara-saudaranya, kaum bangsanya menurut daging. Mengapa Paulus melakukan curhat seperti ini? Satu alasannya yang kuat adalah Israel sebagai bangsa sedaging dengan Paulus adalah bangsa pilihan Allah sendiri. Mereka dipenuhi oleh janji-janji dari Tuhan Allah sendiri. Janji-janji Tuhan Allah ini akan digenapi-Nya. Dengan demikian hanya Allah saja yang dipuji selama-lamanya.

Apakah Tuhan adalah segalanya bagi kita? Harusnya Tuhan adalah segala-galanya, bukan harta dan kuasa atau apapun juga di dunia ini. Mari kita membenahi diri kita supaya semakin serupa dengan Tuhan Yesus. Kita belajar menjadi orang Kristen sejati yang percaya bahwa Tuhan Yesus adalah segalanya.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply