Homili 1 Desember 2017

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXXIV
Dan 7:2-14
MT T.Dan 3:75-81
Luk 21:29-33

Sabda Kekal

Seorang sahabat saya selalu merasa bangga dengan ayahnya. Ia mengatakan bahwa ayahnya menjadi idola, figur yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan karakter dan semangat hidupnya. Ayahnya memiliki sebuah kebiasaan untuk mengingatkan apa saja kepadanya. Setiap hari ayahnya misalnya ayahnya mengingatkannya untuk selalu berdoa dan berbuat baik kepada siapa saja. Ia jangan lalai melakukan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. Ia mengaku pernah merasa bosan karena setiap hari hal yang kecil pasti diingatkan oleh sang ayah. Kini ia merasa bangga memiliki seorang ayah yang hebat. Meskipun ayahnya sudah meninggal lebih dari dua puluh tahun yang lalu namun semua perkataan yang diulang terus menerus masih berguna. Ia sendiri bahkan menggunakan metode yang sama untuk mengingatkan anak-anaknya. Meskipun ayahnya sudah meninggal lebih dari dua puluh tahun yang lalu namun semua perkataan, semua kebaikannya tetap dikenang oleh anak-anak dan cucu-cucunya.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan perumpamaan yang dapat membantu para murid untuk mawas diri. Ia memberi perumpamaan tentang pohon ara dan pohon lain yang mirip. Ia mengatakan bahwa kalau melihat pohon-pohon itu sudah bertunas maka mudah sekali menyimpulkan bahwa musim panas sudah dekat. Pohon ara menjadi pohon pilihan Yesus. Kita mengingat sebuah episode dalam Injil Matius, di mana Ia sendiri pernah mengutuk pohon ara. Ia berkata: “Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamannya!” (Mat 21:19). Penginjil Matius menambahkan keterangan bahwa seketika itu juga keringlah pohon ara itu. Pohon ara memiliki keunikan bahwa dalam setahun dapat berbuah sebanyak dua kali. Panenan terakhir biasanya pada pada masa paskah Yahudi. Banyak orang mencari kebijaksanaan dengan duduk di bawah pohon ara.

Tuhan Yesus sebenarnya mau mengatakan kepada para murid-Nya bahwa pohon ara merupakan salah satu simbol yang penting bagi mereka untuk mawas diri. Pohon ini sendiri berbuah tepat pada hari raya Paskah. Semua orang yang datang ke Yerusalem pasti menikmati buahnya. Mereka akan memetik langsung dari pohon dan memakannya. Pemahaman kita bukan hanya sekedar pohon ara saja. Dalam Kitab Suci, pohon ara itu dihubungkan dengan bangsa Israel. Mereka kelihatan religius, tapi itu hanya lahiriah saja karena mereka tidak menghasilkan buah-buah rohani dalam kehidupannya. (Mat 21:19-21; Mrk 11:13, 20, 21; Luk 13:6, 7; 21:29). Kedua, lambang kehidupan yang baik. Hidup di bawah naungan pohon ara menggambarkan kehidupan yang penuh damai sejahtera, sukacita dan kemakmuran. (1Raj 4:25; 2 Raj 18:31; Yes 36:16; Mi 4:4; Za 3:10).

Selanjutnya, Tuhan Yesus berkata: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi sabda-Ku takkan berlalu” (Luk 21: 33). Tuhan Yesus hendak mengatakan dua hal penting berikut ini: Pertama, kita memandang-Nya sebagai Sabda yang menjadi manusia dan tinggal di tengah-tengah kita. Dialah Sabda hidup yang kekal. Kedua, pada saat ini kita memandang Kitab Suci sebagai Sabda Tuhan. Kitab Suci adalah surat cinta dari Allah bagi manusia. Hanya saja manusia lupa untuk memilikinya. Memiliki Kitab Suci saja masih belum cukup. Manusia harus menjadi pendengar dan pelaku firman.

Apa manfaat kita mendengar Sabda Tuhan? Kita mendengar Sabda Tuhan supaya dapat mengalami Allah. Kita mendengar Sabda Tuhan supaya dapat membentuk sebuah komunitas. Kita mendengar Sabda Tuhan supaya dapat menjadi rasul bagi Sabda itu sendiri. Namun demikian, Tuhan juga menghendaki supaya kita bukan hanya sebagai pendengar tetapi lebih-lebih sebagai pelaku firman. St. Yakobus berkata: “Hendaklah kamu menjadi pelaku firman, dan bukan hanya sebagai pendengar saja”. Sabda Tuhan menjadi pedoman bagi para pelaku bisniss. Mereka tidak hanya mendengar tetapi juga melakukan sabda dalam hidupnya.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply