Bahagia dalam perkawinan
Sepasang suami istri yang saya berkati pernikahannya enambelas tahun yang lalu barusan mengirim pesan kepadaku untuk membagi waktu liburku tahun ini supaya bisa merayakan misa hut perkawinan mereka yang ketujuhbelas. Saya senyum-senyum sendiri dan membayangkan hari pernikahan mereka enam belas tahun silam. Saat itu saya mengatakan kepada mereka bahwa jatuh cinta yang benar bagi orang-orang Asia adalah pada saat pasutri itu sudah hidup bersama sebagai suami dan istri. Ketika itu setiap pribadi menunjukkan keasliannya. Mereka belajar untuk jatuh cinta sehingga dapat saling menerima apa adanya bukan ada apanya. Saya juga mengatakan kepada mereka bahwa tujuan perkawinan adalah supaya menjadi pribadi yang bahagia. Kalau orang menikah untuk menderita maka sebaiknya jangan menikah. Kalau setelah menikah dan menderita maka berusahalah untuk menjadi pribadi yang bahagia.
Setelah memikirkan kembali semua pesan saya dalam homili itu, saya bertanya kembali kepada mereka, apakah kiat yang tepat sehingga mereka masih setia dalam perkawinan hingga saat ini. Kedua-duanya mengatakan bahwa mereka selalu belajar untuk setia satu sama lain dan senantiasa berjuang untuk menjadi pribadi yang bahagia. Dengan demikian mereka juga tetap dalam rel yang sama yakni membangun sebuah keluarga yang bahagia, apapun situasinya. Saya bahagia mendengar sharing mereka dan saya yakin bahwa apa yang mereka sharingkan adalah pengalaman hidup mereka bukan pengalaman hidup orang lain. Saya bangga melihat mereka bahagia dalam perkawinan mereka.
Saya mengingat George Levinger. Beliau adalah seorang psikolog berkebangsaan Amerika, kelahiran tahun 1965. Ia pernah berkata: “Hal yang berperan penting supaya membuat perkawinan bahagia bukanlah berapa banyak kalian saling memiliki kesepadanan dalam hidup melainkan bagaimana kalian mengatasi ketidaksepadanan.” Saya merasa bahwa kata-kata ini memang sederhana namun memiliki power yang luar biasa. Banyak pasutri hanya melihat apa saja hal yang menjadi kemiripan atau kesepadanan sebagai pasangan dan lupa mencari jalan yang tepat untuk mengatasi berbagai hal yang menunjukkan ketidaksepadanan. Kalau saja orang pandai mencari jalan untuk mengatasi ketidaksepadanan maka keluarga-keluarga, para pasutri akan tetap sepadan satu sama lain selamanya.
Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengingat perkataan seorang novelis Amerika bernama Thomas Mullen. Dia berkata begini: “Perkawinan yang bahagia dimulai ketika kita menikahi orang yang kita cintai, dan kebahagiaan itu berkembang bila kita terus mencintai orang yang kita nikahi.” Selama untuk semua keluarga, para pasangan suami dan istri. Apa yang Tuhan sudah persatukan janganlah memisahkan atau menceraikan. Itu semua hanya egoisme semata. Ingat sebagaimana dikatakan Psikiater Gerald G Jampolsky: “Perkawinan yang paling bahagia dibangun di atas fondasi saling memaafkan.” Apakah anda sebagai pasutri sudah terbiasa saling memaafkan satu sama lain?
PJ-SDB