Food For Thought: Semua karena kasih

Semua karena kasih!

Ada seorang sahabat yang mengirim kutipan perkataan St. Agustinus ini kepada saya: “Engkau adalah anak rahmat. Bila Allah memberimu rahmat, itu karena Ia memberikan-Nya dengan bebas, maka kamu harus mencintai dengan bebas. Jangan mencintai Allah demi mendapatkan hadiah; biarkan Allah menjadi hadiahmu”. Saya membacanya sambil tersenyum dan berkata dalam hati bahwa Santu Agustinus tidak salah mengungkapkan kalimat ini. Banyak kali kita memang lupa diri padahal kita sudah menerima sakramen pembaptisan dan memperoleh status baru sebagai anak-Nya. Dengan jasa Yesus Kristus maka kita bukan hanya sebagai anak melainkan sebagai anak rahmat. Ini luar biasa. Kita juga lupa diri sehingga tidak bersyukur kepada Tuhan yang lebih dahulu mengasihi kita. Ia menganugerahkan rahmat-Nya secara gratis kepada kita. Konsekuensinya adalah kita mengasihi Tuhan dengan bebas sebagai anak-Nya sendiri. Mencintai Tuhan Allah dengan bebas berarti mencinta tanpa pamrih, tanpa menuntut apa-apa dari Tuhan. Dia sudah memberi dengan cuma-cuma, maka kita juga menerima dengan cuma-cuma. Tuhan Yesus berkata: “Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma” (Mat 10:8). Hanya dengan demikian kita sungguh-sungguh menjadi anak dari Dia yang menjadikan kita sebagai anak bersama Yesus Anak-Nya. Semua ini karena kasih.

Ya, semua karena kasih. Hari ini saya terinspirasi oleh dua sosok yang luar biasa dalam ziarah iman saya. Sosok pertama adalah St. Petrus. Petrus adalah sosok yang inspiratif dalam seluruh Injil. Ia mengalami petualangan iman yang unik kepada Yesus Kristus. Mulanya ia adalah seorang nelayan sederhana di danau Galilea. Tuhan Yesus mengetahui hidupnya maka Ia memanggil dan menjadikannya sebagai penjala manusia. Tugas sang penjala manusia adalah menolong jemaat supaya menjadi pribadi yang sempurna. Artinya jemaat itu tidak hanya kenyang secara rohani karena tahu berdoa dan mengenal Tuhan saja, tetapi mereka juga sejahtera dalam hidup jasmaninya. Jemaat tidak dapat hidup dengan perut kosong dan berdoa kepada Tuhan. Sang penjala manusia membuat transformasi total supaya sejahtera jasmani dan rohani. Ini adalah panggilan Petrus dan dia berusaha untuk melakukannya dengan sempurna.

Meskipun demikian, Petrus tetaplah manusia biasa yang mudah jatuh ke dalam dosa. Ia pernah berjanji untuk menyerahkan nyawanya bagi Yesus, tetapi nyatanya ia justru menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Tuhan Yesus memiliki rencana yang luhur baginya. Tuhan Yesus selalu menguatkannya. Tuhan Yesus berkata kepada Petrus: “Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” (Luk 22:32). Maka tiga kali Petrus menyangkal Yesus, tiga kali pula Yesus menguatkannya untuk berjanji di hadapan-Nya dan teman-temannya bahwa ia mengasihi Yesus lebih dari yang lain. Benar! Petrus mengulurkan tangannya dan mengikuti Yesus sampai tuntas. Semua ini karena kasih! Tuhan mengasihi Petrus maka Petrus sadar diri untuk mengasihi Tuhan LEBIH dari yang lain.

Sosok kedua adalah Paulus. Paulus juga bikin kita geleng-geleng kepala. Ia adalah Saulus yang mengalami transformasi iman dan bermetanoia secara total di hadapan Tuhan Yesus Kristus. Setelah Tuhan Yesus “menangkapnya” dan menjadikannya sebagai rasul bagi bangsa-bangsa maka Saulus benar-benar menjadi Paulus yang luar biasa. Roh Kudus pernah bernubuat di Antiokhia bagi jemaat baru di sana seperti ini dalam doa: “Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang tekah kutentukan bagi mereka” (Kis 13:3). Barnabas dan Saulus didoakan oleh Jemaat dan mereka sungguh-sungguh menjadi rasul dan misionaris bangsa-bangsa. Pada akhir hidupnya Paulus justru ngotot kepada para penguasa Yahudi tentang Yesus Kristus yang membuatnya dipenjara. Semua orang tahu bahwa Yesus disalibkan dan wafat. Selesai! Tetapi Paulus memang beda. Ia konsisten mengatakan bahwa Yesus hidup. Gubernur Festus saja tidak tahan mendengar ungkapan keberanian Paulus bahwa Yesus hidup, sehingga ia sempat bercerita kepada Herodes Agripa I dan putri tertuanya bernama Bernike. Paulus tidak takut untuk bersaksi bahwa Yesus hidup karena Ia mengasihi Yesus.

Semua karena kasih maka Petrus dan Paulus terdorong untuk memberikan segalanya bagi Tuhan Yesus. Mereka mengalami kasih Tuhan Yesus maka merekapun membalasnya dengan kasih. Kasih adalah segalanya. Kita hidup karena kasih. Mari kita menjadikan kasih sebagai alasan bagi hidup sesama dan hidup pribadi kita. Mari kita memulainya dengan membangun kultur kasih.

Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip sebuah perkataan St. Theresia dari Kalkuta: “Cinta sejati itu menyakitkan. Ia selalu menyakitkan. Ia harus menyakitkan untuk mencintai seseorang; menyakitkan untuk meninggalkannya, engkau mau mati baginya. Ketika orang-orang menikah, mereka harus menyerahkan segala sesuatunya untuk saling mencintai. Seorang ibu banyak menderita karena memberi kehidupan bagi anaknya. Kata “cinta” disalahpahami dan disalahgunakan sedemikian seringnya.”

Bangunlah sebuah kultur kasih di dalam hidup ini supaya dapat mengasihi Yesus lebih dari yang lain.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply