Food For Thought: CiKas itu penting dan harus

Sejenak bersama CiKas!

Seorang sahabat menelpon saya pada sore hari ini. Ia mengakui dengan jujur di ujung telephonenya bahwa pada hari Minggu Tritunggal Mahakudus ini ia berusaha untuk menyendiri sehingga dapat sejenak bersama CiKas. Saya bertanya dalam hati siapakah CiKas itu karena sejauh saya tahu tak ada orang dekat yang namanya CiKas. Lima belas menit setelah menelpon, ia mengirim sebuah pesan, bunyinya: “Romo John mungkin bingung karena seharian saya berusaha untuk sejenak bersama CiKas.CiKas bukanlah nama orang. CiKas itu kepanjangannya Cinta Kasih. Saya sejenak, intim dengan Cinta Kasih karena saya barusan mengalami Cinta Kasih dari Tuhan.” Wah, saya tersenyum sendiri sambil berkata dalam hati: “Thanks be to God”. Ternyata ada sahabatku yang masih sadar diri di hadapan Tuhan dan mau bersaksi tentang pengalaman akan Allah yang adalah kasih sejati. 

Pada hari ini kita merayakan Solemnitas atau Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Tritunggal atau Trinitas merupakan sebuah kondisi rangkap tiga. Allah itu satu tetapi ada dalam tiga pribadi. Apakah dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Allah ada tiga? Jawaban pastinya adalah tidak. Fakta bahwa ada tiga pribadi (Tritunggal Mahakudus) dalam satu Allah adalah sebuah Misteri yang tak terselami oleh akal budi manusia. Hanya melalui Tuhan Yesus saja, kita tahu dan percaya bahwa Allah kita adalah Tritunggal. Artinya kalau kita sungguh percaya pada Tuhan Yesus Kristus maka dengan sendirinya kita juga percaya kepada Allah Tritunggal Mahakudus. 

Saya mengingat sebuah anekdote yang sederhana dan bermakna dari Buku “Burung Berkicau” karya Anthony de Mello, SJ sebagai berikut: 

“Ketika kapal seorang Uskup berlabuh untuk satu hari di sebuah pulau yang terpencil, ia bermaksud menggunakan hari itu sebaik-baiknya. Ia berjalan-jalan menyusur pantai dan menjumpai tiga orang nelayan sedang memperbaiki pukat. Dalam bahasa Inggris pasaran mereka menerangkan, bahwa berabad-abad sebelumnya mereka telah dibaptis oleh para misionaris. ‘Kami orang Kristen,’ kata mereka sambil dengan bangga menunjuk dada.

Uskup amat terkesan. Apakah mereka tahu doa Bapa Kami? Ternyata mereka belum pernah mendengarnya. Uskup terkejut sekali. Bagaimana orang-orang ini dapat menyebut diri mereka Kristen, kalau mereka tidak mengenal sesuatu yang begitu dasariah seperti doa Bapa Kami?

‘Lantas, apa yang kamu ucapkan bila berdoa?’

‘Kami memandang ke langit. Kami berdoa: ‘Kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami.’ Uskup heran akan doa mereka yang primitif dan jelas bersifat bid’ah ini. Maka sepanjang hari ia mengajar mereka berdoa Bapa Kami. Nelayan-nelayan itu sulit sekali menghafal, tetapi mereka berusaha sebisa-bisanya. Sebelum berangkat lagi pada pagi hari berikutnya, Uskup merasa puas. Sebab, mereka dapat mengucapkan doa Bapa Kami dengan lengkap tanpa satu kesalahan pun.

Beberapa bulan kemudian kapal Uskup kebetulan melewati kepulauan itu lagi. Uskup mondar-mandir di geladak sambil berdoa malam. Dengan rasa senang ia mengenang, bahwa di salah satu pulau yang terpencil itu ada tiga orang yang mampu berdoa Bapa Kami dengan lengkap berkat usahanya yang penuh kesabaran. Sedang ia termenung, secara kebetulan ia, melihat seberkas cahaya di arah Timur. Cahaya itu bergerak mendekati kapal. Sambil memandang keheran-heranan, Uskup melihat tiga sosok tubuh manusia berjalan di atas air, menuju ke kapal. Kapten kapal menghentikan kapalnya dan semua pelaut berjejal-jejal di pinggir geladak untuk melihat pemandangan ajaib ini.

Ketika mereka sudah dekat, barulah Uskup mengenali tiga sahabatnya, para nelayan dulu. ‘Bapak Uskup’, seru mereka, ‘Kami sangat senang bertemu dengan Bapak lagi. Kami dengar kapal Bapak melewati pulau kami, maka cepat-cepat kami datang.’

‘Apa yang kamu inginkan?’ tanya Uskup tercengang-cengang.

‘Bapak Uskup,’ jawab mereka, ‘kami sungguh-sungguh amat menyesal. Kami lupa akan doa yang bagus itu. Kami berkata: Bapa kami Yang ada di surga, dimuliakanlah namaMu; datanglah kerajaanMu … lantas kami lupa. Ajarilah kami sekali lagi seluruh doa itu!’

Uskup merasa rendah diri: ‘Sudahlah, pulang saja, saudara-saudaraku yang baik, dan setiap kali kamu berdoa, katakanlah saja: Kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami.’

Aku kadang-kadang melihat wanita-wanita tua berdoa rosario tak habis-habisnya di gereja. Bagaimana mungkin Tuhan dimuliakan dengan suara bergumam yang tidak keruan itu? Tetapi setiap kali aku melihat mata mereka atau memandang wajah mereka menengadah, di dalam hati aku tahu, bahwa mereka lebih dekat dengan Tuhan daripada banyak orang terpelajar.”

Kisah sederhana ini menunjukkan wajah CiKas yang sebenarnya. Cinta Kasih Allah hadiri dalam diri orang-orang kecil. Mereka tidak mengerti hal yang tinggi dan ilmiah tetapi hati mereka sangat terbuka kepada Tuhan Allah. CiKas benar-benar nyata di dalam diri orang-orang kecil. Allah Tritunggal Mahakudus hadir dalam diri orang-orang kecil. 

St. Agustinus pernah berkata: “Di mana ada cinta kasih, di situ ada Allah Tritunggal: pencinta, yang dicinta dan sumber cinta kasih”. St. Agustinus sendiri memiliki sebuah pengalaman yang unik tentang Allah Tritunggal MahaKudus. Inilah pengalaman uniknya: 

Santo Agustinus pernah berjalan-jalan di tepi pantai, sambil memutar otak untuk memecahkan persoalan misteri Tritunggal Mahakudus. Ketika itu, ia berjumpa dengan seorang anak kecil yang sedang membuat sebuah lubang di atas pasir di tepi pantai. Agustinus bertanya kepada anak itu, “Nak, apa yang sedang engkau lakukan di tepi pantai ini?” Anak itu menjawab, “Saya sedang menggali lubang untuk mengisi semua air laut ke dalamnya!” Agustinus bertanya heran, “Bagaimana mungkin air laut yang begitu banyak dapat diisi ke dalam lubang sekecil itu?” Anak kecil itu balik bertanya kepada Agustinus: “Kalau bapak sendiri kelihatan sedang bingung sehingga mondar-mandiri dari tadi di pinggir pantai. Apa yang sedang Bapak pikirkan?” Agustinus menjawabnya: “Saya sedang merenung, memutar otak untuk memahami Allah Tritunggal Mahakudus.” Lalu anak itu berkata kepada Agustinus, “Bagaimana mungkin misteri Tritunggal yang demikian agung dapat masuk ke dalam otak Bapak yang demikian kecil itu!” Seketika itu juga anak itu menghilang. Tritunggal Mahakudus adalah misteri iman kita.

Mari kita menjadikan CiKas sebagai sebuah kultur. Kultur yang membuat hidup pribadi menjadi semakin bermakna karena penyertaan Allah Tritunggal Mahakudus. CiKas dapat mengubah hidup manusia menjadi lebih baik di hadapan Tuhan dan sesama. CiKas…CiKas!

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply