Merenungkan peziarahan sebuah keluarga
Pada malam hari ini saya berbincang-bincang dengan ketiga frater yang sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di komunitas kami. Mereka membagi keprihatinan mereka tentang kerapuhan hidup berkeluarga zaman ini. Kerapuhan dalam hidup berkeluarga disebabkan oleh kurang pengetahuan dan kurang dewasanya pria dan wanita ketika memutuskan untuk menikah. Ada yang menikah karena kecocokan dan cinta kasih di antara mereka. Ada yang menikah karena keterpaksaan saja, mungkin demi nama baik keluarga. Ada yang menikah tanpa ada kesadaran yang jelas untuk apa menikah. Saya salut karena sharing ketiga frater ini turut membuka wawasan mereka untuk menatap masa depan sebagai gembala bagi banyak orang yang akan mereka layani.
Saya salut dengan sebuah keluarga. Pada suatu kesempatan mereka mengundang saya untuk duduk bersama, meminta pendapat tertentu tentang hidup berkeluarga. Mereka adalah salah satu pasangan yang saya berkati lima belas tahun silam dan sudah dikaruniai dua orang anak yang sehat dan pintar. Saya memberikan mereka tip 5 T yang sudah popular dalam peziarahan sebuah keluarga. Kelima T yang dimaksud adalah:
Time: waktu. Keluarga dapat melanjutkan peziarahannya dengan baik sampai tuntas kalau mereka selalu memiliki waktu yang berkualitas untuk membangun relasi yang sehat satu sama lain. Orang tua sebagai pasangan hidup memiliki waktu untuk berbicara, tatap muka, berdiskusi. Orang tua dan anak-anak memiliki waktu untuk berdiskusi bersama tentang kehidupan bersama atau tentang masa depan anak-anak. Jangan pernah mengatakan ‘saya tidak punya waktu!’
Telling: katakanlah apa adanya. Keluarga dapat melanjutkan peziarahan hidup bersama kalau mereka saling berbicara satu sama lain atau berkomunikasi. Kalau anak-anak bersalah maka orang tua harus mengatakan apa adanya. Janganlah menjadi orang tua yang sungkan dengan anak sendiri. Katakanlah apa adanya, terbuka dan janga berbohong. Anak-anak tidak menyukai orang tua yang pandai berbohong.
Teaching: Ajarlah dengan baik. Keluarga dapat berziarah sampai ke tujuannya kalau orang tua berani mengajar anaknya, memberikan informasi yang benar. Jangan hanya pandai mengatakan: “Anak bungsu saya masih belum tahu apa-apa”. Dia dapat mengetahui apa-apa kalau orang tua mengajarkannya dengan baik.
Training: memberikan pelatihan. Sebuah keluarga dapat melakukan peziarahannya dengan baik kalau orang tua melatih anak-anaknya untuk bermental pekerja yang tekun. Hidup santai tidak akan membuat orang memiliki masa depan yang baik. Sebab itu orang tua dapat melakukan hal ini: pertama, orang tua mengerjakan suatu pekerjaan, misalnya membersihkan closet. Anak berdiri di dekatnya sambil mengobservasi dan belajar dari orang tuanya. Kedua, orang tua memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan suatu pekerjaan seperti membersihkan closet. Orang tua mengobservasi dan menunjukan hasil observasinya kepada anaknya dengan terbuka. Ketiga, baik orang tua dan anak sama-sama melakukan suatu pekerjaan. Mereka merasa sebagai satu team work. Pekerjaan akan semakin ringan dan cepat tuntas.
Together: kebersamaan. Sebuah keluarga dapat melanjutkan peziarahan hidupnya di dunia kalau ada kebersamaan. Orang tua sebagai pasangan suami dan isteri selalu bersama-sama dalam beraktivitas. Demikian juga orang tua bersama anak-anaknya. Orang tua jangan pernah membiarkan anak-anaknya terlantar. Usahakan supaya selalu bersama-sama sebagai satu keluarga.
Kelima T ini merupakan rumusan yang sederhana tetap sangat bermakna bagi setiap keluarga. Kalau saja semua keluarga dapat bercermin pada 5T ini maka dunia kita dengan sendirinya akan berubah menjadi lebih baik. Keluarga-keluarga dapat sadar diri bahwa 5T sangat membantu peziarahan keluarga menjadi lebih baik.
Saya mengingat Paus Fransiskus. Dalam Seruan Apostolik Pascasinode Amoris Laetitia (sukacita kasih) menulis seperti ini: “Kita bersyukur bahwa banyak orang menghargai hubungan keluarga yang diharapkan berlangsung lama dan ditandai dengan saling menghormati. Mereka menghargai usaha Gereja yang menawarkan pendampingan dan dukungan yang berhubungan dengan soal-soal perkembangan kasih, cara mengatasi masalah dan membesarkan anak…” (AL, 38). Perkataan Bapa Suci ini memang sangat sederhana, namun apakah orang masih memiliki telinga untuk mendengar. Apakah pasangan suami dan istri yang hubungannya sedang berada diambang keretakan masih sadar diri untuk kembali menyadari panggilan hidup berkeluarga?
Hanya orang-orang hebat yang mematikan sikap egoisnya dan terlibat dalam pekerjaan Tuhan di dalam keluarga. Ketika sikap egois masih merajai hidup pribadi, maka relasi sebagai sesama dan relasi dengan Tuhan tidak akan terlaksan dengan baik. Renungkan keluargamu dan baharuilah dirimu di hadapan Tuhan Allah Yang Mahakudus.
PJ-SDB