Hidup Kristiani yang berkualitas
Saya barusan berbincang-bincang dengan salah seorang sahabatku lewat media sosial. Saya sempat bertanya kepadanya tentang keadaannya di ditempat kerjanya pada hari ini. Ia mengatakan kepadaku bahwa semua pekerjaan di pabrik dilakukannya dengan baik. Hanya ada satu hal yang membuatnya sedih yakni teman-teman dalam teamnya suka mengeluh dalam bekerja. Baginya, mengeluh itu semacam virus karena di dalam mengeluh ada rasa malas, sikap tidak taat, tidak setia dan aneka nilai lain yang tidak elok dalam kebersamaan sebagai team kerja. Setelah berbincang-bincang di dunia maya, saya merenung sejenak dan mengatakan dalam hati bahwa pada saat ini juga banyak orang sedang mengeluh, bersungut-sungut dan berbantah-bantah.
Saya merasa yakin bahwa ada banyak orang yang suka mengeluh tentang hidup dan pekerjaannya. Mereka menjadikan orang lain sebagai pembanding bagi dirinya. Misalnya, kalau ada orang yang hidupnya berkelimpahan maka ia akan merasa serba kekurangan. Kalau ia memang sedang berkelimpahan maka orang lain pasti serba kekurangan. Perasaan-perasaan seperti ini sering melanda pasangan suami dan istri, anak-anak, karyawan, bahkan dalam hidup membiara sekalipun. Pertanyaan yang selalu muncul adalah: “Mengapa dia seperti itu, sedangkan saya hanya seperti ini saja?”
Sebenarnya ada satu kata yang masih kurang di sini: ‘Syukur’. Ketika masing-masing pribadi saling membandingkan dirinya satu sama lain maka kata ‘syukur’ tidak berlaku karena kata ‘syukur’ ini tidak memiliki makna apa-apa. Inilah beberapa ekspresi yang sudah lumrah dalam hidup bersama: “Untuk apa bersyukur kepada Tuhan? Hidupku selamanya seperti ini bahkan semakin tak berdaya. Untuk apa bersyukur kepada teman dan sahabat juga saudara? Mereka tidak berempati dengan saya ketika sedang mengalami kesulitan.” Inilah hidup kita yang nyata di hadapan Tuhan dan sesama. Rasanya seperti tidak ada ruang bagi Tuhan dan sesama dalam hidup ini. Yang ada hanyalah sebuah cela bagi rasa mengeluh, bersungut-sungut dan berbantah-bantah.
Harus bagaimanakah hidup kristiani yang sebenarnya?
Ini adalah sebuah pertanyaan sederhana dalam menjalani hidup sebagai orang yang sudah dibaptis dan selalu berbangga sebagai pengikut Yesus Kristus. Santu Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi coba membangkitkan harapan baru, sebuah angin perubahan supaya menjadi pengikut Kristus yang berkualitas. Ia pernah berkata: “Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat” (Flp 2:12). Orang yang taat adalah orang yang selalu mendengar dengan baik sehingga konsekuensinya ia mampu mengasihi dengan sepenuh hati. Wujud nyata dari ketaatan kristiani adalah orang mampu mengerjakan keselamatan diri dengan takut dan gentar. Orang memiliki semangat takut akan Allah. Inilah ketaatan sejati di hadapan Allah. Kita percaya bahwa Tuhan Allah tetap bekerja di dalam diri kita, baik kemauan maupun pelaksanaan menurut kerelaan-Nya.
Ketaatan dalam hidup kristiani menjadi nyata dalam sikap ini: “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia, sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.” (Flp 2:14-16). Perhatikan elemen-elemen penting dalam ketaatan Kristiani ini: ‘Tidak bersungut-sungut dan tidak berbantah-bantah’. Ini adalah tanda ketulusah hidup kita di hadapan Tuhan dan sesama, yang turut membuka pintu keselamatan. Seorang yang taat kepada Tuhan sedang melewati jalan kekudusan yang benar. Orang yang itu tidak beraib, tidak bernoda, tidak bercela dapat bercahaya dalam kegelapan dan tetap berpegang pada Sabda Tuhan. Hanya dengan demikian orang dapat menggapai sukacita abadi di surga. Pertanyaan sederhana bagi kita adalah apakah sepanjang hari ini kita sempat mengeluh, bersungut-sungut dan berbantah-bantah? Tuhan Yesus di salib saja tidak mengeluh, bersungut-sungut dan berbantah-bantah. Ketika seorang sudah bersikap demikian, ia sedang berjalan dalam jalan yang salah. Ia mesti kembali kepada terang Tuhan.
Saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Thomas A. Kempis dalam ‘de Imitatione Christi’. Ia menulis: “Sungguh sangat luhur bila kita mau hidup dalam ketaatan, hidup di bawah perintah dan tidak hidup bebas tanpa diperintah. Sungguh lebih aman menjadi bawahan daripada menjadi atasan yang harus memberikan perintah. Kebanyakan orang mau menjadi bawahan, bukan karena rasa cinta, melainkan karena terpaksa. Oleh karena itu, mereka merasa berat dan mudah bersungut-sungut. Dengan jalan itu, mereka tidak memperoleh kemerdekaan rohani, kecuali apabila mereka dengan segenap hati tunduk kepada atasan karena cintanya akan Allah. Kemanapun kita pergi, tiadalah kita memperoleh ketentraman hati sebelum kita tunduk kepada kekuasaan yang lebih tinggi. Senantiasa berikhtiar untuk pindah tempat dan kedudukan, telah mengecewakan banyak orang.” (IX:1).
Mari kita meningkatkan kualitas hidup kristiani dengan menjauhkan diri dari sikap mengeluh, bersungut-sungut dan berbantah-bantah.
PJ-SDB