Homili 8 November 2018

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXXI
Flp 3:3-8a
Mzm 105:2-7
Luk 15:1-10

Milikilah hati sebagai gembala yang baik!

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang bapa di ruang tunggu penerbangan. Ia cepat sekali mengenalku sebagai Romo, meskipun saya sendiri tidak menggunakan suatu atribut khusus sebagai Romo. Ia mengambil inisiatif untuk mengajakku berbicara tentang banyak hal. Rasanya nyambung juga dengan pikiran saya. Namun, saya lebih fokus lagi ketika ia berbicara tentang dirinya. Ia mengaku diri sebagai seorang katolik yang dibaptis masih bayi, aktivis di Gereja Paroki dan kelompok kategorialnya. Pada masa mudanya ia memiliki prinsip work and money oriented. Maka tentu tidak ada banyak waktu untuk Tuhan dan sesama. Suasana hidupnya ini berubah pada saat ia memasuki usia senja. Rasanya seperti ia sudah terlambat mengasihi Tuhan, tetapi ia mau mencoba untuk membagi hidupnya bagi Tuhan dan sesama. Ia pun merasa bahagia karena dapat melayani di Paroki dan di kelompok Kategorialnya. Saya merasa bahagia karena berjumpa dan berbincang-bincang dengan seorang yang barusan saya kenal tetapi begitu baik dengan sharing pengalaman hidup dan pribadinya.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan pengajaran St. Paulus kepada jemaat di Filipi. Ia memulainya dengan menyatukan persepsi mereka sebagai sesama kaum bersunat, dalam hal ini merupakan sebuah kebanggan karena sebagai tanda untuk beribadat oleh Roh Allah, bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh kepercayaan kepada hal-hal lahiriah. Paulus tentu merasa senasib dengan mereka semua dalam hal bersunat. Namun demikian ia juga menunjukkan letak perbedaan dengan orang-orang zamannya, terutama dalam hal-hal lahiria.

Apa maksud Paulus dengan hal-hal lahiriah? Inilah deretan hal-hal lahiriah dalam diri Paulus: “Disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat” (Flp 3:4-5). Semua ini adalah hal-hal lahiriah yang menjadi kebanggan Paulus. Namun ia merasa bahwa semua hal lahiria adalah sia-sia saja ketika ditangkap oleh Yesus. Ia merasa bahwa apa yang menjadi kebanggan lahiriahnya itu sudah menjadi sia-sia saja. Ia bahagia karena bertemu dengan Tuhan Yesus yang menjadi segalanya baginya. Tuhan Yesus jauh lebih mulia dari hal-hal lahiria yang ia miliki.

Paulus adalah kita. Hanya bedanya adalah banyak kali kita terlampau membanggakan hal-hal lahiria dan lupa Tuhan. Coba pikirkanlah, berapa kali kita membanggakan diri sebagai orang yang dibaptis sejak masih bayi, berasal dari suku yang mayoritas orang katolik, banyak panggilan imam dan biarawan serta biarawati, dari paroki yang kolektenya paling besar, sebagai seorang aktivis Gereja dan lain sebagainya. Ini adalah bentuk-bentuk kebanggan lahiriah yang masih sulit kita olah sebagai kebajikan kristiani. Artinya kita tidak hanya sekedar bangga, tetapi hidup pribadi kita berubah menjadi lebih katolik lagi. Kita semakin serupa dengan Tuhan Yesus dalam banyak hal. Jangan sampai orang katakan: “Orang katolik, dari suku ini lho tapi kok preman banget ya!” Atau: “Orang katolik tapi menipu di mana-mana”. Ini sangat memalukan kita di mata orang lain.

Hidup Kristiani yang benar adalah hidup dengan semakin dekat dengan Tuhan Yesus sang Gembala Baik. Hidup ini ditandai dengan usaha untuk mengalami Allah dalam hidup setiap hari. Pengalaman akan Allah senantiasa ditandai oleh pengalaman pertobatan yang terus menerus. Penginjil Lukas mengisahkan bahwa banyak pemungut cukai dan orang-orang berdosa yang selalu datang kepada Yesus untuk mendengar-Nya. Ini menjadi sebuah alasan bagi orang-orang Farisi dan para ahli Taurat yang bersungut-sungut karena Yesus akrab dan bersahabat dengan kaum pendosa. Bagi mereka, Yesus harusnya menjauh dari orang-orang berdosa. Yesus mengubah segala sesuatu. Ia bergaul dengan kaum pendosa supaya mereka bertobat dan menjadi baru di hadirat-Nya.

Tuhan Yesus lalu menceritakan dua buah perumpamaan. Perumpamaan pertama tentang gembala yang memperhatikan 100 ekor domba. Pada suatu kesempatan ada seekor domba yang hilang dari kawanannya. Sebab itu ia harus meninggalkan 99 ekor, pergi dan mencari satu yang tersesat. Pada saat menemukannya, ia mengangkatnya, meletakkan di atas bahunya dengan gembira dan membawanya pulang ke rumahnya. Ia bersukacita bersama teman-temannya karena bisa mendapatkan kembali dombanya yang hilang. Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai gembala yang baik. Ia mencari yang hilang untuk diselamatkan. Perumpamaan yang kedua adalah tentang seorang wanita yang kehilangan satu dirham dari sepuluh dirham yang dia miliki. Ia bersuaha mencarinya dengan menyalakan pelita dan menyapu rumahnya, sambil mencarinya dengan teliti. Ketika menemukannya ia bersukacita bersama teman-temannya.

Pesan apa yang hendak Tuhan Yesus tunjukkan kepada kita? Satu pesan penting adalah pertobatan yang dimulai dari diri kita sendiri. Ketika kita bertobat maka ada sukacita yang besar di surga. Tuhan sungguh menunjukkan kerahiman-Nya kepada kita semua. Pertobatan diri kita dapatlah menjadi tanda pertobatan bagi sesama yang lain. Kita membawa sukacita pertobatan bagi orang lain. Nah, di sini butuh semangat gembala yang baik, yang mampu mengenal dan menyelamatkan semua dombanya. Milikilah hati sang Gembala baik dalam hidup setiap hari.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply