Homili Pesta Keluarga Kudus – C- 2018

Pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria, Yusuf
1Sam 1:20-22,24-28
Mzm. 84:2-3. 5-6.9-10
1 Yoh. 3:1-2.21-24
Luk. 2:41-52

Kembalilah ke dalam keluargamu!

Pada hari ini kita merayakan Pesta Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yusuf. Ada dua sosok yang menginspirasikan saya untuk merenungkan bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini. Sosok pertama adalah Santa Theresia dari Kalkuta. Ia pernah berkata: “Apa yang dapat anda lakukan untuk mempromosikan perdamaian dunia? Kembalilah dan cintai keluargamu”. Sosok kedua adalah Bapa Suci Paus Fransiskus. Ia pernah berkata: “Sukacita sejati dalam keluarga berasal dari sebuah keharmonisan yang mendalam antara pribadi-pribadi, sesuatu yang kita semua rasakan dalam hati kita dan yang membuat kita mengalami keindahan dari kebersamaan, dari saling mendukung sepanjang perjalanan hidup.”Dua kutipan yang sama-sama mengantar anda dan saya untuk kembali ke dalam keluarga dan komunitas kita masing-masing.

Saya merasa yakin bahwa keluarga kudus dari Nazaret dapat menginspirasikan kita untuk membentuk keluarga dan komunitas manusia yang penuh dengan kedamaian sesuai rencana Tuhan. Setiap keluarga perlu belajar dari keluarga kudus tentang keheningan dan ketenangan yang dirasakan oleh setiap pribadi di dalam keluarga yakni ayah, ibu dan anak. Keheningan dan ketenangan dapat membuka pintu rasa damai dalam hati kita masing-masing. Itulah sebabnya St. Theresia dari Kalkuta mengatakan bahwa untuk mempromosikan perdamaian dunia maka orang perlu kembali ke dalam keluarganya masing-masing. Mengapa? Sebab rasa hening dan tenang yang turut membuka pintu damai bagi setiap pribadi dialami pertama kali dan selamanya di dalam keluarga. Selain keheningan, keluarga kudus mengajarkan setiap pribadi dalam keluarga untuk tekun bekerja demi kebaikan bersama. Santu Yusuf menginspirasikan keluarga untuk bekerja dan mensyukuri hasil pekerjaannya. Keluarga kudus dari Nazaret menginspirasikan setiap keluarga untuk menghargai sakramen perkawinan, terutama apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Mengapa banyak orang gagal dalam pernikahannya? Salah satu alasannya adalah pasangan itu belum mengalami nilai hidup berkeluarga di dalam keluarganya sendiri.

Keluarga kudus dari Nazaret menjadi cermin bagi kehidupan setiap keluarga katolik dari dahulu hingga masa kini. Paus Fransiskus mengatakan bahwa keluarga membutuhkan sukacita. Sukacita itu sendiri berakar dalam keharmonisan yang mendalam di dalam diri orang tua dan anak-anak. Tanpa ada keharmonisan maka keluarga menjadi rapuh, mudah retak. Dampaknya bagi semua anggota keluarga adalah perasaan bahwa tidak ada yang indah dalam keluarga. Padahal tujuan utama hidup berkeluarga adalah supaya setiap pribadi itu merasakan kebahagiaan. Pasangan suami istri menjadi bahagia, dan kebahagian menjadi semakin sempurna melalui kehadiran anak-anak. Maka kembalilah ke dalam keluarga masing-masing dan bangunlah sebuah keharmonisan mendalam selama-lamanya.

Saya mengingat St. Yohanes Paulus II. Di dalam Anjuran Apostoliknya Familiaris Consortio tentang kehidupan keluarga Kristiani dalam dunia modern, beliau menulis: “Hakekat dan peranan keluarga pada intinya dikonkretkan oleh cintakasih. Oleh karena itu keluarga mengemban misi untuk menjaga, mengungkapkan serta menyalurkan cintakasih. Dan cintakasih itu merupakan pantulan hidup serta partisipasi nyata dalam cintakasih Allah terhadap umat manusia, begitu pula cintakasih Kristus Tuhan terhadap Gereja mempelai-Nya (FC, 17). Di sini kita menyadari bahwa keluarga benar-benar menjadi sebuah sekolah kehidupan. Sekolah yang benar-benar mempersatukan setiap pribadi, ayah, ibu dan anak-anak. Keluarga juga menjadi sebuah sekolah cinta kasih sebab ia menjadi tempat orang mengalami cinta kasih untuk pertama kali dan selamanya.

Kiranya St. Yohanes Paulus II dipengaruhi oleh pemikiran St. Yohanes Penginjil dalam suratnya yang kita dengar dalam bacaan kedua. St. Yohanes penginjil mengatakan: “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.” (1Yoh 3:1). Kita menjadi anak-anak Allah dan kelak dapat melihat-Nya dengan mata kita sendiri dalam keadaan-Nya yang sebenarnya. Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi anak-anak Allah? St. Yohanes memberi kiat ini: “Barangsiapa menuruti segala perintah-Nya, ia diam di dalam Allah dan Allah di dalam dia. Dan demikianlah kita ketahui, bahwa Allah ada di dalam kita, yaitu Roh yang telah Ia karuniakan kepada kita.” (1Yoh 3:24). Sebab itu tugas kita untuk membangun keluarga sebagai sebuah sekolah kehidupan dan sekolah kasih. Sekolah yang mengajarkan setiap pribadi untuk mengalami hidup yang sempurna sebagai anak Allah dan merasakan kasih Allah sepanjang hidupnya. Sekolah yang menjadikan setiap pribadi menjadi anak-anak Allah yang kudus, serupa dengan Allah sendiri.

Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah Tuhan Yesus yang sudah memasuki masa remaja, berusia 12 tahun. Ia mengikuti kedua orang tua-Nya untuk berziarah ke Yerusalem menjelang hari Raya Paskah orang Yahudi. Mereka berdoa dan memuji Allah Bapa di dalam Surga. Yesus kemudian hilang di dalam bait Allah. Maria dan Yusuf cemas mencari-Nya hingga tiga hari baru menemukan-Nya. Ketika itu, Ia sedang duduk bersama para alim ulama sambil mendengar dan mengajukan pertanyaan di antara mereka. Maria dan Yusuf menunjukkan kematangan hidup sebagai orang tua. Perhatikan perkataan Bunda Maria ini: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” (Luk 2:48). Yesus menjawab ibunya: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk 2:49). Mungkin Yusuf lebih terpukul dengan kata-kata Tuhan Yesus ini. Bunda Maria sendiri menunjukkan keibuannya di hadapan Yusuf dan Yesus: “Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (Luk 2: 51).

Kisah Injil memang sangat menarik perhatian kita semua sebab setelah menyelami kisah Yesus ini, kita semua menyaksikan bahwa keluarga kudus ini kembali ke Nazaret. Mereka kembali ke dalam keluarga mereka sendiri di Nazaret. Di dalam keluarga ini: “Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk 2: 52). Di dalam keluarga kudus inilah kita sama-sama belajar keheningan dan ketenangan yang membuka pintu kedamaian. Kita belajar indahnya sebuah keluarga yang bersatu selama-lamanya. Kita belajar bahwa bekerja dengan tekun adalah ciri khas kehidupan keluarga kristiani seturut Allah Bapa yang selalu bekerja hingga saat ini (Yoh 5:17).

Mari kita kembali ke dalam keluarga kita masing-masing. Biarkan Yesus juga lahir dan bertumbuh, bertambah besar, bertambah hikmat, makin di kasihi Allah dan kita sendiri di dalam keluarga masing-masing. Semoga keluarga-keluarga menjadi sekolah kehidupan dan sekolah cinta kasih. Selamat hari Keluarga Kudus 2018.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply