Salam Waras
Hari ini saya tersenyum-senyum membaca status salah seorang teman saya di media sosial, bunyinya: “Ada sebuah pertanyaan pasca debat pertama para calon presiden dan wakil presiden: Apakah semua pendukung para capres ini masih waras?” Saya berpikir sejenak, membayangkan semua status di media sosial serta komentar-komentarnya dan saya boleh mengatakan bahwa banyak pendukung para capres ini sudah tidak waras lagi. Masing-masing pendukung berpikir sesuai kategori mereka bahwa calonnya paling top, hebat dan benar. Ada sebuah ‘hukum’ yang mengatakan bahwa orang-orang yang tidak masuk dalam kelompok pasti tidak mendukung calon kesayangannya. Akibatnya mereka ‘patut’ dibenci dan dianggap berada di luar kelompoknya.
Rasa benci dan memiliki musuh menjadi sebuah kultur baru di banyak kalangan masyarakat. Kekerasan verbal diungkapkan secara langsung melalui kata-kata kasar yang keluar dari mulut. Ini benar-benar mencerminkan siapakah pribadi itu sebenarnya. Kekerasan fisik bukan hanya terjadi di dunia maya tetapi menjadi nyata. Orang-orang seakan-akan tidak waras sehingga membabi buta untuk mematikan lawannya. Padahal para capres dan wacapres tenang-tenang saja, tetapi para pendukung menciptakan dunia mereka yang penuh dengan ketegangan tertentu. Maka tentu saja kita tidak dapat menyangkal bahwa masih banyak orang yang tidak waras karena tidak melihat hal-hal positif dalam diri sesamanya. Semua yang baik tetap dianggap tidak baik. Kebohongan demi kebohongan, aneka kampanye hitam, saling memfitnah dan aneka tindakan lainnya telah mencedari wajah demikrasi kita.
Namun dunia belum kiamat. Masih ada kelompok orang waras dan terus berteriak ‘salam waras’. Di sini, kita membutuhkan orang-orang waras yang tidak menebar benih kebenciaan, fanatisme dan radikalisme. Kita membutuhkan orang-orang waras yang membawa pribadi-pribadi manusia untuk keluar dari ketidakwarasan terstruktur di dalam masayarakat yang sudah terkotak-kotak ini ke dalam sebuah dunia baru, dunia yang mencintai kebinekaan. Apakah di tengah-tengah kita masih ada orang waras yang memperjuangkan persekutuan di antara kita. Kita masih membutuhkan orang-orang waras sebagai dewa penyelamat kita semua.
Saya mengingat Nelson Mandela. Ia pernah berkata: “Kebencian adalah seperti meminum racun dan berharap musuhmu yang terbunuh.” Perkataan Mandela ini sangatlah erat dengan pengalaman kita setiap hari. Kita tidak menyadari bahwa kebencian itu seperti kita sedang meminum racun. Sambil meneguk racun kita berharap supaya orang-orang yang tidak sejalan dengan kita tewas terbunuh. Rasa benci itu ada di dalam hati dan pikiran kita. Apakah racun itu masih tetap diteguk dan berharap supaya orang lain meninggal dunia? Orang waras tidak akan terpancing secara emosional dalam mengambil sebuah keputusan tertentu. Orang waras akan mencari yang terbaik bagi sesamanya. Kebencian yang berujung kejahatan berubah menjadi kasih dan kebaikan. Racun mematikan berubah menjadi madu yang menghidupkan.
Orang waras itu tidak akan takut dalam hidupnya. Orang waras seperti Nelson Mandela memperdalam pergumulan hidupnya dengan berkata: “Saya belajar bahwa keberanian tidak akan pernah absen dari ketakutan. Tetapi mereka berhasil menang atas itu. Orang berani bukan mereka yang tidak pernah merasa takut, tapi mereka yang bisa menaklukkan rasa takut itu.” Salam waras, dan tetap beranilah untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam diri, keluarga dan masyarakat.
Renungkanlah pertanyaan pertanyaan sederhana ini EKW: emang kamu waras? Titip salam waras buat mereka yang masih memiliki hati nurani dan berusaha untuk tetap waras dan mewaraskan orang lain.
PJ-SDB