Homili 30 Maret 2019

Hari Sabtu Pekan III Prapaskah
Hos. 6:1-6
Mzm. 51:3-4,18-19,20-21ab
Luk. 18:9-14

Merendahkan orang lain itu tidak elok!

Pada pagi hari ini saya menyiapkan diri untuk merayakan misa harianku di sebuah stasi. Hal yang akan saya refleksikan adalah tentang bagaimana kita tidak perlu merendahkan orang lain yang ada di sekitar kita. Saya mengingat kembali pertemuan saya dengan dua siswa di sekolah yang saling melakukan kekerasan verbal satu sama lain hanya karena hal sepeleh yang mereka alami bersama. Siswa pertama mengatakan kepada siswa kedua: “Kamu goblok. Dasar manusia tidak punya otak”. Siswa kedua sambil tersenyum dan mengatakan: “Ya terima kasih karena saya masih goblok, dan manusia yang tidak punya otak. Kalau anda itu ‘seperti’ manusia tidak berotak”. Kata-kata ini tentu sangat menyakitkan dan tidak elok diucapkan oleh dua siswa yang sedang belajar di sekolah. Mereka haruslah belajar menjadi pribadi yang bijak dan dapat menghormati sesamanya. Kita tentu merasa khawatir kalau generasi masa depan memiliki karakter saling merendahkan seperti ini. Kita juga dapat menyaksikan melalu media sosial, pribadi-pribadi tertentu yang suka menyebar arus kebencian. Komentar-komnetra yang melecehkan dan merendahkan martabat hidup orang lain.

Banyak kali kita juga mendengar orang-orang yang berpendidikan melakukan kekerasan verbal seperti orang yang tidak berpendidikan. Hal ini bisa terjadi di dalam keluarga, di tempat kerja dan lain sebagainya. Mudah sekali kita mencari posisi menang, tertinggi, unggul dan susah untuk mengalah meskipun jelas-jelas bersalah. Usaha membenarkan diri selalu saja ada. Betapa sulitnya orang menerima kekalahan, posisi rendah dan tidak serta merta membenarkan dirinya. Pokoknya kita bangetz! Contoh yang lain, dalam masa politik ini kita dapat menyaksikan di media sosial dan media online orang mengekspresikan dirinya seolah-olah berada di pihak yang terbaik dan mereka yang lain tidak. Pikirkanlah dua kata: akal sehat dan waras yang lagi popular. Ada yang berpikir mereka memiliki akal sehat, ada yang berpikir mereka waras. Kadang-kadang orang yang mengaku berakal sehat dan waras tetapi kenyataannya berbeda. Kita dapat melihat bahagaimana mereka menganalisis sesuatu menunjukkan apakah benar-benar berakal sehat dan waras atau bukan. Ada yang saling menjatuhkan satu sama lain, melakukan kebohongan. Suasana seperti ini sedang terjadi di dalam masyarakat kita.

Pada hari ini kita belajar dari Tuhan Yesus sendiri. Ia mengajak kita melalui sabda-Nya supaya jangan menganggap diri benar dan memandang orang lain rendah (Luk 18:9). Tuhan Yesus adalah satu-satunya Kebenaran. Ia tidak pernah mengajar kita untuk membenarkan diri dan menganggap rendah orang lain. Kata-kata dan sikap kita sungguh kristiani, menyerupai Yesus ketika kita menerima semua orang apa adanya. Dikisahkan bahwa ada dua orang yang datang ke dalam Bait Allah untuk berdoa. Salah satunya adalah orang Farisi dan yang lainnya adalah seorang pemungut cukai. Orang Farisi menunjukkan keaslian dengan menganggap dirinya sebagai orang baik dan benar dengan membandingkan dirinya dengan penungut cukai. Inilah doa pribadi orang Farisi yang penuh kesombongan: “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” (Luk 18:11-12). Doa ini keluar dari hatinya yang tidak murni. Rasa syukurnya tidak mencerminkan dirinya sebagai orang yang dekat dengan Tuhan. Sungguh kesombongan menguasai hidupnya. Doa orang Farisi dengan membandingkan dirinya dan pemungut cukai sering menjadi doa harian orang-orang tertentu. Doa dengan membandingkan keunggulan diri sendiri dan orang lain. Ketika berada di dalam Gereja untuk beribadah, orang masih membandingkan dirinya dengan orang lain. Ini sungguh tidak kristiani.

Hal ini berbeda dengan sang pemungut cukai. Ia merasa diri sebagai orang berdosa maka ia tidak berani untuk mengklaim dirinya di hadirat Tuhan. Ia berdiri jauh-jauh,  tidak berani menengadah ke langit, memukul dirinya dan memohon belas kasih Tuhan: “Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini”. (Luk 18:13). Pemungut cukai menunjukkan kepada kita sebuah pelajaran yang berlaku untuk seumur hidup kita yakni kerendahan hati dan sadar diri sebagai orang berdosa. Ia merasa tidak layak di hadirat Tuhan yang Mahakudus. Ia tidak berani memandang wajah Tuhan yang begitu kudus dan mulia. Ia tertunduk dan menyesal atas semua dosa korupsi, penipuan yang sudah dilakukannya di tempat kerja. Ia bahkan memohon supaya Tuhan mengasihaninya. Hidup sang pemungut cukai harusnya menjadi bagian dari hidup kita. Ia tidak membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia hanya melihat dirinya yang hina di hadapan Tuhan.

Pada hari ini kita juga mendengar sebuah ajakan yang baik dari Nabi Hosea bagi kita hari ini: “Mari, kita akan berbalik kepada Tuhan, sebab Ia menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” (Hos 6:1.6). Kita sering berpikir dan menghitung-hitung apa yang sudah kita berikan kepada Tuhan dan sesama dan lupa bahwa kita menerima dengan cuma-cuma dan memberinya juga dengan cuma-cuma. Tuhan adalah kasih (1Yoh 4:8.16) maka kita belajar untuk mengasihi dengan memberi diri secara total seperti Yesus sendiri. Tuhan juga lebih menyukai kemampuan kita untuk mengenal-Nya sebagai Pencipta segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan. Maka kita seharusnya meraa terpanggil untuk mengenal dan mengalami Allah lebih dalam lagi. Maka sebagai orang beriman, berpikirlah dengan pikiran Tuhan, berkatalah dengan kata-kata Tuhan, mengasihi dengan kasih Tuhan. Hanya dengan demikian kita boleh layak di hadirat Tuhan.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply