Hari Kamis, Pekan Prapaskah ke-IV
Kel. 32:7-14
Mzm. 106:19-20,21-22,23
Yoh. 5:31-47
Sulitnya mengampuni
Ada seorang sahabat yang mengatakan kepadaku: “Dari semua yang aku alami selama ini, hanya ada satu hal yang selalu mengganjal di hatiku yakni betapa sulitnya bagiku untuk mengampuni sesama.” Saya mendengar dengan penuh perhatian dan memberi jempol kepadanya dengan mengatakan begini: “Anda masih manusia bukan malaikat”. Tentu saja sahabatku ini bukan satu-satunya yang mengalami kesulitan dalam mengampuni sesama manusia. Kita semua mengalami kesulitan yang sama untuk mengampuni sesama manusia. Kita mengalami kesulitan untuk mengampuni karena kita masih tetap mengingat-ingat kesalahan yang orang lakukan kepda kita. Kita tidak memiliki kemauan yang cukup untuk melupakan kesalahan dan dosa sesama. Mengampuni berarti melupakan. Tuhan saja melupakan kesalahan-kesalahan kita dengan pengampunan tanpa batas, tetapi mengapa kita sebagai orang yang mengimani-Nya sangat sulit untuk mengampuni?
Saya ingin mengingatkan kita semua supaya mengawali hari ini dengan sebuah pikiran dan energi positif. Apa saja yang telah terjadi di dalam hidup ini sudah mengalir seperti air sungai yang mengalir. Tidak pernah ada air yang sama di dalam sungai yang sedang mengalir. Maka pengalaman-pengalaman masa lalu adalah guru kehidupan yang selalu mengalir, dan telah berlalu dari kehidupan pribadi kita masing-masing. Ada pengalaman yang menyenangkan dan mengecewakan, semuanya datang dan berlalu dalam hidup kita. Sebab itu kita kembali ke pertanyaan semula: “Mengapa begitu sulit kita mengampuni sesama yang sudah bersalah kepada kita?
Saya tertarik dengan kisah bangsa Israel di dalam dunia Perjanjian Lama. Tuhan Allah membebaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir. Musa, Harun dan Josue ditentukan Tuhan Allah untuk menjadi pemimpin mereka. Mereka melewati padang gurun menuju ke tanah terjanji selama lebih kurang empat puluh tahun. Hidup mereka di hadirat Tuhan selama empat puluh tahun dihiasi oleh dosa dan salah. Mereka bersungut-sungut, berkeras hati seperti di Masa dan Meriba, menyembah berhala dan aneka sikap melawan Tuhan Allah melalui Musa. Tuhan Allah sendiri sempat mengingatkan Musa bahwa bangsa yang dipimpinnya keluar dari tanah Mesir telah rusak perilakunya. Mereka menympang dari semua perintah-Nya dengan menyembah berhala, terutama ketika mereka membuat patung lembu tuangan dari emas dan menyembahnya sebagai pengganti Allah yang benar. Mereka mempersembahkan kurban dan sujud menyembahnya. Mereka bahkan berkata bahwa patung lembu emas adalah Allah yang mengeluarkan mereka dari tanah Mesir. Tuhan melihat dosa lainnya yakni mereka keras hati, tegar tengkuk. Dari semua sikap ini, Tuhan hendak menunjukkan murka-Nya, namun karena Musa melakukan negosiasi terbaik maka Tuhan Allah mengubah rencana-Nya. Kita membaca: “Dan menyesallah Tuhan karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya.” (Kel 32:14). Lihatlah Tuhan menyesal karena merancang malapetaka atas umat-Nya. Dia mengampuni dan menerima umat-Nya dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Apakah kita pernah merasa menyesal setelah memikirkan hal yang negatif terhadap sesama? Saya merasa yakin bahwa banyak di antara kita pasti bersikap demikian. Mereka menyesali perbuatan dan tutur katanya, meski sebenarnya sudah terlambat. Setiap perkataan yang keluar dari mulut itu tidak akan kembali ke dalam diri kita. Sebab itu pengalaman adalah guru kehidupan yang mampu mengoreksi kita untuk menjadi lebih baik lagi hari demi hari. Tuhan saja menyesali rancangan-Nya, mengapa kita sulit untuk menyesali rancangan pikiran, perkataan dan perbuatan kita bagi sesama. Tuhan melakukannya bagi kita saat ini juga, hanya kita yang kurang mengerti rencana Tuhan.
Tuhan sYeus dalam bacaan Injil hari ini mengingatkan kita semua akan pengalaman betapa sulitnya orang Yahudi mengenal dan memberi kesaksian tentang diri-Nya sebagai Allah. Ia berkata: “Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri maka kesaksian-Ku itu tidak benar. Ada yang lain yang bersaksi tentang Aku dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar.” Tuhan Yedsus sempat menyinggung tentang kesaksian Yohanes Pembaptis, namun kesaksian Yohanes ini tidak sebanding dengan semua pekerjaan yang Yesus lakukan di hadapan Bapa dan manusia. Semua pekerjaan itu dilakukan Yesus atas kehendak Bapa bukan atas kehendak Yesus sendiri sebagai Anak. Perkataan Yesus ini tidak hanya ditujukkan kepada orang-orang Yahudi saja. Ia juga berkata kepada kita yang sedang mengikuti-Nya dari dekat. Mengapa? Sebab kita juga kesulitan dalam menghayati hidup sebagai pengikut-pengikut-Nya. Kita tidak meletakkan kaki kita pada jejak kaki Yesus tetapi pada jejak kaki kita sendiri.
Masa prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk belajar mengampuni seperti Tuhan mengampuni kiita. Kita belajar menjadi penengah antara Tuhan dan manusia atau antara manusia dan manusia seperti Musa, sang sahabat Tuhan. Kita belajar untuk percaya kepada sesama seperti Tuhan sendiri percaya kepada Musa. Saling percaya satu sama lain dan semangat untuk belajar dari pengalaman ini mampu mengubah kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan matang. Kita mampu menjadi saksi Kristus sebab itulah amanat sakramen pembaptisan kita. Kita mampu mengampuni seperti Tuhan sendiri menampuni kita semua.
PJ-SDB