Homili Hari Rabu Pekan Suci 2019

Hari Rabu Pekan Suci
Yes 50: 4-9a
Mzm 69: 8-10.21bcd-22.31.33-34
Mat 26:14-25

Merenungkan Penderitaan Kristus

St. Fransiskus dari Asisi pernah mengungkapkan permenungannya tentang Salib Kristus dalam doanya begini: “Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia.” Doa singkat ini selalu kita ulangi ketika mengikuti Jalan Salib, di mana kita coba mengalami penderitaan Kristus, sambil memandang Salib dan melihat keselamatan yang datang dari Tuhan sendiri. Tepat sekali perkataan ini: ‘In Cruce Salus!’ artinya pada salib ada keselamatan. Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita semua. Sambil memandang salib, kita mengingat perkataan Tuhan Yesus ini: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mt 16:24). Mengikuti jejak Kristus berarti menggenapi semua perkataan Tuhan Yesus ini dalam hidup kita setiap hari.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus dan para murid-Nya pada malam terakhir. Yesus mengatakan dengan terus terang akan penderitaan-Nya di hadapan para rasul: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.” (Mt 16:21). Para murid yang hadir merasa bingung dan saling bertanya satu sama lain tentang siapa yang akan mengkhianati sang Guru. Yudas memberi sebuah pertanyaan begini: “Bukan aku, ya Rabi?” dan Yesus berkata kepadanya: “Engkau telah mengatakannya.” (Mt. 26:25). Yesus mengkonfirmasi posisi Yudas Iskariot sebagai ‘pengkhianat’ tetapi belum dipahami sepenuhnya oleh para rasul yang lain. Mereka benar-benar masih bingung. Saya merasa yakin bahwa situasi para rasul Yesus ini tidak jauh berbeda dengan kita ketika kita coba merenungkan hidup kita di hadirat Tuhan. Mungkin sikap munafik masih menguasai diri kita, ada di antara kita yang selalu berpikir bahwa ia adalah yang terbaik sedang orang lain tidak baik atau berdosa. Ada yang sudah kehilangan rasa berdosanya sehingga masih bertanya ‘bukan aku Tuhan?’

Yudas Iskariot mewujudkan pengkhianatan kepada sang guru yakni Yesus Kristus. Ia selalu tampil beda dengan menganggap dirinya sebagai pembela kaum miskin, padahal sejatinya bukan demikian. Ia pelit dan mata duitan. Sebab itu ia pergi kepada para imam kepala dan bertanya kepada mereka: “Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” (Mt 26:15). Para imam kepala sepakat untuk membayar tiga puluh uang perak kepadanya. Ketika menerima uang itu, ia pun mencari kesempatan terbaik untuk menyerahkan Yesus kepada mereka. Gurunya sendiri ia jual demi uang. bagi saya, kisah Yudas Iskariot adalah kisah hidup kita setiap hari. Ada banyak di antara kita yang bermental bekicot, mudah menyerah, apalagi ketika berhadapan dengan uang. Banyak di antara kita menjadi hamba uang. Penulis surat kepada umat Ibrani mengatakan: “Janganlah kamu menjadi hamba uang, dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu.” (Ibr 13:5). Hanya karena uang, orang tidak malu-malu untuk melakukan korupsi, berbohong, dan mengintimidasi orang lain. Uang telah menghalangi kasih sebagai sesama manusia dan kasih kepada Tuhan.

Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang malam perjamuan terakhir. Para murid Yesus diingatkan untuk menyiapkan makan malam bersama. Ini merupakan malam di mana Yesus menunjukkan diri-Nya sebagai kepala keluarga mereka. Seorang kepala keluarga yang berterus terang tentang penderitaan dan kemalangan yang dialami-Nya. Seorang pengkihanat sedang ada bersama-sama dengan mereka. Transaksi jual beli dengan para imam kepala sudah terjadi. Itu sebabnya Tuhan Yesus berterus terang kepada mereka: “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” (Mt 26: 24). Yesus mengetahui bahwa kematian ada di hadapan-Nya dan semua ini adalah bukti bahwa kasih adalah segalanya. Ia rela menderita karena kasih. Ini menjadi sebuah sikap Yesus sebagai Hamba Yahwe yang menderita.

Dalam Bacaan Pertama, kita mendapat gambaran tentang Hamba Yahwe yang menderita. Ia sudah dibekali oleh Tuhan sebagai hamba yang mempunyai lidah untuk berbicara dan memberi semangat kepada orang-orang lain yang letih dan lesu. Tuhan memberikan kepada sang hamba telinga supaya ia mendengar sebagai murid. Ia tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Ia bersaksi sebagai hamba yang menderita: “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yes 50:6). Meskipun menderita namun ia tetaplah hamba yang setia karena ia tetap mengandalkan Tuhan sebagai satu-satunya penolong baginya.

Pada hari ini kita merenungkan penderitaan Yesus Kristus. Ia adalah Anak Allah yang siap menderita meskipun tidak bersalah. Bagi Yesus, kehendak Allah Bapa di surga adalah segalanya. Ia taat kepada Bapa karena kasih. Ia mengasihi Bapa dan mengasihi orang berdosa. Dia tidak mengeluh tetapi menunjukkan diri-Nya sebagai hamba yang menderita, yang selalu bersatu dengan Tuhan. Penderitaan Kristus semata-mata karena kasih. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga memiliki kasih seperti kasih Yesus Kristus?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply