Homili 4 Juni 2019

Hari Selasa Pekan ke-VII Paskah
Kis. 20:17-27
Mzm. 68:10-11,20-21
Yoh. 17:1-11a

Melayani Tuhan dengan rendah hati

Saya pernah membimbing rekoleksi para pemimpin umat dari sebuah paroki terkenal. Mereka adalah para para pengurus territorial seperti kordinator Komunitas Basis Gerejani, para ketua lingkungan, para koordinator wilayah, para pengurus kelompok kategorial juga para tenaga pastoral paroki. Suasana rekoleksi bertemakan ‘Mari melayani dengan rendah hati’ merupakan usaha untuk mengejawantahkan program kerja Paroki sesuai arah dasar keuskupan, sekaligus persiapan rapat karya untuk tahun berikutnya. Hal yang menarik perhatian adalah pada bagian sharing pengalaman pelayanan di paroki. Semua pengurus gereja memang memiliki komitmen untuk melayani Gereja tetapi pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana menakar sebuah kualitas pelayanan yang rendah hati dari seorang pelayan tulen.

Dari sharing yang ada, muncullah dua kelompok pelayan di dalam Gereja paroki tersebut yang bagi saya juga merupakan gambaran umum paroki-paroki yang lain di mana saja. Kelompok pelayan pertama: mereka melayani dengan tulus hati, rela berkorban, tanpa membuat sebuah perhitungan apapun. Kelompok pelayan kedua: mereka kelihatan hadir untuk melayani, kelihatan berkorban namun penuh dengan perhitungan. Sebenarnya ada yang lebih ekstrim yakni pelayan yang mencari mangsa untuk melakukan penipuan, meminjam uang kemudian tidak mengembalikannya, mencari keuntungan di dalam kegiatan gereja, melakukan korupsi dan perselingkuhan. Saya terdiam mendengar keekstriman dalam pelayanan yang tentu saja bertentangan dengan semangat melayani dengan rendah hati. Tapi itulah wajah para pelayan di dalam Gereja kita, mirip sebuah cermin yang retak.

Apakah kita bertahan dalam takaran pelayanan seperti ini? Inilah pertanyaan saya yang sangat sederhana kepada semua peserta rekoleksi. Bagi saya, wajah pelayanan para pelayan Gereja kita memang seperti ini dan Tuhan sangat mengerti dan peduli. Sebab itu Tuhan senantiasa membaharui Gereja dari saat ke saat. Ketika para pelayan Gereja hanya berbisnis di dalam Gereja, semuanya diukur dengan uang maka Tuhan akan mengutus seorang bendahara yang akan menghabiskan semua uang yang ada dengan caranya sendiri. Saat itulah orang sadar untuk membaharui diri di hadapan Tuhan dan sesama umat di dalam Gereja.

Pada hari ini kita belajar dari dua orang pelayan sejati yakni St. Paulus dan Tuhan Yesus Kristus sendiri. St. Lukas dalam Kisah Para Rasul, melukiskan sebuah perjalanan Misioner Paulus sampai tuntas di garis finis. Banyak pengalaman penderitaan dan kemalangan di tanah misi. Ia melewati semuanya itu dengan tidak bersungut-sungut karena ia sangat mencinta Yesus Kristus. Kali ini ia hendak melakukan perjalanan ke Yerusalem dari Miletus. Ketika itu ia menyuruh seorang tanpa nama untuk pergi ke Efesus dan meminta para penatua untuk datang dan menemuninya di Miletus. Para penatua pun berdatangan ke Miletus untuk menjumpai Paulus. Ini menjadi kesempatan baginya untuk menyampaikan isi hatinya kepada mereka semua.

Inilah isi hati Paulus, sang Misionaris Agung kepada orang-orang Efesus yang datang ke Miletus: “Kamu tahu, bagaimana aku hidup di antara kamu sejak hari pertama aku tiba di Asia ini: dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan. Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku.” (Kis 20:18-19). Curhat pertama ini menunjukkan suka dan dukanya sebagai abdi Tuhan, seorang utusan yang bertanggung jawab. Ia menjadi sosok pelayan yang rendah hati melebih pelayanan-pelayanan kita. Dia lebih pelayan dari pada kita. Pikirkanlah saat-saat ia mengalami penolakan hingga mencucurkan air mata, ada pencobaan pembunuhan yang ia alami sendiri. Andaikan Paulus adalah anda dan saya maka sadar atau tidak sadar kita meninggalkan pelayanan kita karena kita belum rendah hati seperti Paulus. Kita masih melayani dengan penuh perhitungan untuk diri kita sendiri bukan untuk sesama. Paulus juga mengakui bahwa dalam situasi sesulit apapun, ia tetap tekun melayani. Ia tidak pernah lalai untuk mengajar dan mewartakan Injil. Ia memberi kesaksian kepada kaum Yahudi dan Yunani untuk bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita Yesus Kristus.

Paulus melanjutkan curhatnya dengan mengatakan dirinya sebagai tawanan Roh. Ia akan meninggalkan Miletus ke Yerusalem dan ia sendiri tidak mengetahui apa yang akan terjadi bagi dirinya. Semua ada resiko sebagai pelayan yang rendah hati terutama penjara dan sengsara yang selalu membayanginya. Ia bahkan dengan tegas mengatakan: “Asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” (Kis 20:24). Hal lain yang menarik perhatian dari kesaksian Paulus adalah bahwa ia bersih: “Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa. Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu.” (Kis 20:26-27).

Pengalaman Paulus ini mengingatkan kita akan sejatinya hidup seorang pelayan Tuhan. Pelayan Tuhan itu harus rendah hati karena ia melayani bukan dilayani. Pelayaan Tuhan itu siap untuk menderita, dipenjara dan mengalami sengsara fisik dan verbal. Pelayan Tuhan itu bersih dari segalanya, tidak mengisi kesempatan dalam kesempitan, tidak mengambil untung dan menindas sesama. Pelayan Tuhan itu tidak menjadikan Gereja sebagai ladang bisnisnya tetapi sebagai tempat mengabdi. Ia berani melepaskan segalanya untuk menjadi pelayan yang rendah hati.

Tuhan Yesus Kristus adalah sang Imam Agung yang melayani dengan rendah hati. Pada malam perjamuan terakhir Yesus sebagai Anak Allah masih menengada ke langit untuk mendoakan para murid-Nya. Dialah Imam Agung sejati yang sudah mengetahui setiap murid-Nya seperti Yudas Iskhariot, Petrus, Thomas dan lainnya. Namun Ia tetap mendoakan mereka satu per satu. Yesus menunjukkan diri sebagai Imam Agung yang melayani dengan rendah hati. Ia melayani dalam doa supaya Bapa memuliakan Dia sebagai Anak. Ia sebagai Anak menunjukkan pelayanannya sebagai satu-satunya Penyelamat manusia. Sebab itu Ia menganugerahkan hidup kekal kepada mereka.

Hidup kekal bagi Yesus adalah suatu keadaan baru di mana manusia mengenal Allah Bapa sebagai satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus sebagai utusan Allah Bapa. Di sini Yesus sekali lagi menekankan kesatuan Bapa dan Putera dalam Roh. Ia sebelumnya sudah mengatakan “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30). Kesatuan yang utuh antara Bapa dan Putera haruslah menjadi kesatuan antara kita sebagai manusia dengan Yesus sang Penebus kita. Sebuah kesatuan yang menjadikan kita semakin menyerupai-Nya sebagai Imam Agung yang melayani dengan rendah hati. Yesus melayani dengan rendah hati karena kasih. Kita pun dapat melayani dengan rendah hati kalau kita mampu mengasihi.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply