Homili Hari Minggu Biasa ke-XIX/C – 2019

Hari Minggu Biasa XIX/C
Keb. 18:6-9
Mzm. 33:1,12,18-19,20,22
Ibr. 11:1-2,8-19
Luk. 12:32-48

Janganlah takut

Saya selalu mengingat pertanyaan yang disampaikan oleh seorang umat kepada saya: “Apakah anda merasa takut?” Saya menjawabnya: “Tentu saja saya merasa takut karena saya masih manusia biasa. Misalnya, saya takut untuk mati karena masih mau mengabdi Tuhan dan sesama dalam waktu yang lama.” Dia tertawa dan mengatakan kepada saya: “Wah, kalau gembala saja takut mati apalagi kami para domba yang lemah, pasti lebih takut lagi.” Saya mengatakan kepadanya: “Rasa takut itu sangat manusiawi. Kita semua masih memiliki rasa ini selagi masih bernafas.” Ketakutan akan tetap menghantui siapa saja, tanpa memandang siapakah orang itu. Paulo Coelho berkata: “Katakanlah pada hati anda bahwa ketakutan untuk menderita itu lebih buruk ketimbang menderita dan tidak ada hati yang pernah menderita ketika sedang mengejar mimpi.”Ada orang-orang tertentu hanya merasa takut karena mereka memang mau melarikan diri dari ketakutannya sendiri.

Saya mengingat sebuah perkataan yang diucapkan Nelson Mandela: “Saya belajar bahwa keberanian tidak akan pernah absen dari ketakutan. Tetapi mereka berhasil menang atas itu. Orang berani bukan mereka yang tidak pernah merasa takut, tapi mereka yang bisa menaklukkan rasa takut itu.” Nelson Mandela belajar dari pengalaman masa lalunya. Ia pernah dipenjara selama dua puluh tujuh tahun karena sangat frontal melawan kaum penindas berkulit putih kepada kulit hitam di Afrika Selatan. Ia berjuang untuk menaklukan rasa takutnya dan berhasil dengan baik.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu Bisa yang ke-XIX ini mengingatkan kita untuk tidaklah perlu merasa takut. Dalam bacaan pertama misalnya, penulis Kitab Kebijaksanaan mengingatkan kita untuk menjauhi rasa takut, sebab Tuhan Allah sendiri menyertai umat-Nya dengan kasih setia yang tidak berubah sepanjang zaman. Ada rasa optimism dan harapan yang besar dari umat Tuhan yakni: “Ada keselamatan bagi orang benar dan kebinasaan para musuh” (Keb 18:7). Pengharapan bukan hanya sekedar sebuah wacana tetapi kesiapan hati manusia untuk menerima Tuhan. Inilah ekspresi yang sangat positif: “Diam-diam anak-anak suci dari orang yang baik mempersembahkan korban dan sehati membebankan kepada dirinya kewajiban ilahi ini: orang-orang suci sama-sama akan mengambil bagian baik dalam hal-hal yang baik maupun dalam bahaya. Dalam pada itu sebelumnya sudah mereka dengungkan lagu-lagu pujian para leluhur.” (Keb 18:9).

Penulis Surat kepada Jemaat Ibrani menekankan tentang iman. Baginya, iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.” (Ibr 11:1-2). Iman membantu kita semua untuk tidak lagi berpikir secara manusiawi. Iman membantu kita untuk mengerti bahwa kita harus berpikir dengan pola pikir Allah bukan pola pikir manusia. Hanya dengan pola pikir Allah maka kita akan merasakan keselamatan abadi sebab kita telah berserah kepada Tuhan.

Untuk lebih meyakinkan jemaat Ibrani, maka ingatan-ingatan masa lalu tentang penyertaan Tuhan dan segala mukjizat yang telah terjadi menjadi bukti keberadaan Allah di tengah umat-Nya. Allah menyertai dan mengasihi umat-Nya sampai tuntas karena melihat iman mereka. Meskipun bangsa Israel selalu menggerutu kepada Tuhan dan memiliki hati yang keras namun kasih Tuhan tidak pernah berubah. Satu hal yang pasti yakni Tuhan adalah kasih dan manusia mengimani-Nya. Pengalaman ini haruslah menguatkan Gereja untuk tidak merasa takut dalam berbagai situasi hidupnya. Selagi masih ada Tuhan, mengapa harus takut? Tuhan adalah pelindung kita semua.

Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengingatkan para murid-Nya untuk selalu siap sedia mempertahankan iman kepada Tuhan. Tuhan Yesus berkata: “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu.” (Luk 12:32). Kata-kata Yesus ini sangat menguatkan kita semua. Dalam masyarakat, kita sebagai Gereja hanyalah sebuah kawanan kecil maka butuh kesaksian hidup yang autentik. Ini memang perlu dan harus. Kalau kita mampu bersaksi maka Bapa di surga akan memberi Kerajaan-Nya bagi kita sebagai kawanan kecil. Sebuah kerajaan yang penuh kedamaian, kasih dan keadilan. Kawanan kecil bukanlah membuat kita bermental bekicot atau bermental kepiting dalam masyarakat. Kita harus berani, konsisten dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Pesan lain yang aktual adalah supaya kita jangan takut untuk berbagi harta dengan sesama yang sangat menderita, miskin dan tak berdaya. Apa yang harus kita lakukan? Tuhan Yesus memberi jawaban dan anjuran yang tepat: “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada”. (Luk 12:33-34). Hidup ini menjadi bermakna ketika kita berusaha untuk mengatasi rasa takut dengan jiwa penuh keberanian. Janganlah takut, masih ada Tuhan yang selalu bersamamu.

P. John Laba, SDB

Leave a Reply

Leave a Reply