Dari Maria kita belajar
Pada malam hari menjelang Hari Raya Bunda Maria Dikandung Tanpa Noda, saya membaca kembali tulisan-tulisan Paus Fransiskus tentang Bunda Maria. Saya menemukan tulisannya yang terakhir yakni ‘Surat Apostolik Admirabile Signum’ tentang pentingnya Gua Natal. Pada nomor yang ke-7 dari surat ini, Sri Paus menulis begini: “Secara bertahap, kita sampai di gua, di mana kita menemukan sosok Maria dan Yusuf. Maria adalah seorang ibu yang merenungkan Anaknya dan menunjukkan-Nya kepada setiap yang berkunjung. Sosok Maria membuat kita merenungkan misteri agung yang mengelilingi perempuan muda ini ketika Allah mengetuk pintu hatinya yang tak bernoda. Maria menanggapi dengan penuh ketaatan terhadap pesan malaikat yang memintanya untuk menjadi Bunda Allah. Kata-katanya, “sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”(Luk 1:38), memperlihatkan kepada kita semua bagaimana melepaskan diri kita dalam iman menuju kehendak Allah. Dengan “fiat”-nya, Maria menjadi ibu dari Anak Allah, tanpa kehilangan tetapi, berkat Dia, mempersembahkan keperawanannya. Di dalam dirinya, kita melihat Bunda Allah yang tidak menyimpan Anaknya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi mengundang semua orang untuk mematuhi Sabda-Nya dan melaksanakannya.” (lih. Yoh 2: 5).
Dari semua perkataan Sri Paus Fransiskus ini, kita menemukan nilai-nilai luhur kehidupan Bunda Maria di dalam Gereja Katolik. Nilai-nilai yang dimaksud adalah:
Pertama, Maria adalah seorang ibu. Pikiran kita langsung tertuju kepada sosok sang ibu, ibu kita di rumah, baik yang mati maupun hidup. Maria sebagai ibu, mengalami sendiri pengalaman manusiawi yakni melahirkan sebagai seorang ibu dan membesarkan Yesus sebagai Anaknya. Bagi para ibu rumah tangga: apakah anda sudah menjadi ibu yang terbaik di dalam keluargamu seperti Maria?
Kedua, Maria merenungkan Anaknya. Maria sangat mengasihi Yesus Puteranya. Sejak menerima khabar sukacita hingga ia bersama para murid menunggu kedatangan Roh Kudus. Maria benar-benar menemani Yesus sejak menerima khabar sukacita, lahir hingga wafat di atas kayu salib. Maria senantiasa merenungkan Anaknya. Di saat-saat yang sulit Maria hadir dan menyaksikan penderitaan Yesus Putranya.
Ketiga, Fiat Maria. “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38). Maria menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan Allah dengan hati yang Tidak terbagi. Saya yakin bahwa dari Maria kita belajar untuk tekun dan taat mendengar, membaca, merenungkan dan melakukan Sabda Tuhan dalam hidup kita.
Keempat, Bunda Maria murah hati. Ia mengandung dan melahirkan Yesus, namun ia tidak merasa memiliki-Nya sendiri. Dari Maria kita belajar bagaimana Maria menjadi misionaris yang membawa Yesus Kristus kepada orang lain. Kita saat ini pun belajar untuk membawa banyak orang kepada Kristus Tuhan kita.
Masih banyak lagi yang kita masih bisa belajar dari Bunda Maria. Namun benar juga perkataan ini: “De Maria nunquam satis” artinya ‘Tentang Bunda Maria tidak pernah cukup’. Kata-kata yang terungkap dari mulut tidak pernah cukup. Masih ada kata-kata baru yang muncul yang menambah khasana devosi kepada Bunda Maria. Mari kita memandang kepada Bunda Maria dan belajar daripadanya.
Ave Maria…
P. John Laba, SDB