Panggil aku ‘Hana’
Saya mengakhiri hari ini dengan sebuah permenungan berjudul ‘Panggil aku Hana’. Beberapa minggu yang lalu saya menghadiri sebuah perayaan syukur ulang tahun ke-17 seorang gadis. Ketika tiba di tempat pesta, para tamu dan undangan termasuk saya diterima dengan ramah dan dipersilahkan untuk mengisi buku tamu sebelum diantar ke tempat yang sudah disediakan. Dari banyak hal yang terjadi saat itu, saya tetap mengingat gadis remaja yang memperkenalkan dirinya dengan berkata: “Romo John, panggil aku Hana”. Sambil berjabatan tangan, saya mengatakan kepadanya bahwa namanya memiliki makna yang bagus. Yah, Shakespeare pernah berkata ‘apalah arti sebuah nama’. Nama itu menunjukkan jati diri dari pribadi yang mengusung nama tersebut. Nama mencerminkan totalitas hidup, finalitas hidup dari pribadi yang memiliki nama itu.
Pada hari ini saya tertarik dengan kisah keluarga Samuel dalam Kitab Perjanjian Lama. Dikisahkan di dalam Kitab pertama Samuel bahwa ada seorang laki-laki dari Ramataim-Zofim, dari pegunungan Efraim, namanya Elkana bin Yeroham bin Elihu bin Tohu bin Zuf, seorang Efraim. Elkana mempunyai dua orang isteri. Istri pertama bernama Hana dan istri kedua bernama Penina. Penina mempunyai anak tetapi Hana tidak. (1Sam 1:1-2). Kita dapat membayangkan bagaimana situasi keluarga Elkana ini. Kita semua pasti secara manusiawi, bias juga berdasar pada pengalaman empiris bahwa kalau seorang pria berpoligami, artinya ia memiliki dua orang istri maka sangatlah sulit baginya untuk menciptakan sebuah keluarga yang ideal. Penina melahirkan anak maka ia merasa di atas angin. Hal ini berbeda dengan Hana yang kandungannya sudah ditutup Tuhan. Hana tidak memiliki anak sehingga Penina menyakitinya, sampai Hana sendiri tidak mau makan dan hanya menangis. Dalam suasana seprti ini, Elkana berusaha untuk mencairkan situasi dengan berkata: “Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?” (1Sam 1:8).
Hannah, dari namanya kita memahami bahwa Tuhan menyertainya. Nama Hana dalam Bahasa Ibrani adalah hannāh berarti rahmat Tuhan, penuh rahmat. Hannah juga berarti Allah berbelas kasih (mercy). Dalam Bahasa Arab, Hannah berarti kebahagiaan dan dalam Bahasa Jepang berarti bunga. Dari makna namanyan ini maka saya merasa yakin bahwa Hana pasti diteguhkan dan memperoleh berkat dari Tuhan. Dan benar, kita mengenal Hana, yang masa tuanya akan melahirkan seorang bayi bernama Samuel. Samuel berarti “nama Allah” atau “Allah mendengar” (שם האלוהים Shem HaElohim) (שמע אלוהים Sh’ma Elohim). Bagi Hannah, Allah sudah mendengar doa-doa Hannah, maka meskipun disakiti, ia tetap percaya bahwa Tuhan mendengar doa dan keluh kesanya.
Banyak kali pengalaman Hannah juga menjadi pengalaman kita. Di dalam keluarga tidak ada kenyamanan. Orang tua saling bertengkar, anak-anak pun demikian. Situasi chaos ini menjadi bagian dalam hidup berkeluarga masa kini. Ada anggota keluarga yang sedang berada di dalam kesulitan maka kita tidak boleh menertawakannya. Hannah mengalami kesulitan dan ketidakadilan, namun ia mendapat berkat karena kesetiaannya untuk tetap datang ke rumah Tuhan. Kalau di antara kita tidak mendapat berkat Tuhan maka kita hanya berhenti dalam kesulitan dan mempersalahkan orang lain dan Tuhan sendiri. Hannah mengaja kita untuk tetap bertekun dalam doa. Ada pengalaman Penina di dalam keluarga kita. Mungkin ada saat tertentu di mana kita saling menyakiti. Kita butuh semangat baru untuk bertobat dan percaya kepada Injil.
P. John Laba, SDB