Sang Penabur bebas menabur
Pada pagi hari ini saya merayakan misa harian bersama umat. Misa ditutup dengan menyanyikan lagu dari Puji Syukur (PS 692). Pada bagian refrainnya terdapat kalimat-kalimat berikut ini: “Marilah, kita pergi bekerja di ladang Tuhan, menaburkan yang baik di dalam hati orang, menaburkan yang baik di dalam hati orang.” Ini adalah lagu perutusan bagi kita semua supaya tekun bekerja di ladang Tuhan. Di samping itu, tugas kita semua adalah menaburkan yang baik di dalam hati orang. Pertanyaan bagi kita adalah apa yang baik yang perlu kita taburkan di dalam hati sesama kita? Ada banyak yang dapat kita taburkan, misalnya kesaksian hidup kita yang nyata melalui tutur kata, sikap dan tingkah laku, relasi yang sehat, cara memandang sesama dan lain sebagainya.
Kita mendengar kisah Injil yang tentang penabur yang bebas menabur. Sang Penabur memiliki kuasa untuk bebas menabur. Sebab itu ia tidak memilih lahan sesuai seleranya. Ia bebas menabur benihnya di pinggir jalan, di daerah berbatu, di antara semak berduri dan di tanah yang baik. Daerah Galilea mewakili lahan perumpamaan ini. Di sana kita menemukan lahan di pinggir jalan, persis di pesisir pantai danau Galilea, di antara bebatuan dan semak duri. Lahan yang lebih banyak adalah tanah yang subur. Hingga saat ini daerah Galilea merupakan lahan yang subur, dan dapat memberi makan sayur dan buah juga gandum kepada orang-orang Israel. Pengalaman bercocok tanam ini dipakai Yesus untuk menjelaskan kemampuan manusia untuk menerima dan melakukan Sabda di dalam hidupnya.
Sang Penabur yaitu Tuhan sendiri tidak pernah menabur benih yang tidak baik. Ia menabur benih yang baik. Sabda Tuhan itu baik adanya, tidak pernah sabda Tuhan itu tidak baik. Yang menjadi masalah adalah hati manusia, apakah bersedia menerima sabda atau tidak. Apakah sabda itu nantinya dilakukan atau tidak dilakukan. St. Yakobus berkata: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (Yak 1:22). Mungkin banyak kali kita menipu diri sendiri bahwa kita itu tidak lebih dari ‘pinggir jalan’, ‘tanah berbatu’, ‘semak duri’. Atau mungkin kita terlalu berbangga sebagai tanah yang subur sehingga tidak berusaha untuk menghasilkan buah yang berlipat ganda. Kita mendengar Sabda tetapi masih kesulitan untuk merenung dan melakukannya. Kita butuh penyertaan Tuhan yang tiada hentinya.
PJ-SDB