Homili 13 Juli 2020

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XV
Yes. 1:11-17
Mzm. 50:8-9,16bc-17,21,23
Mat. 10:34-11:1

Mewujudkan kekudusan dalam diri kita

Pada tanggal 19 Maret 2018, Bapa Suci Paus Fransiskus menulis sebuah Seruan Apsotolik bernama Gaudete et Exultate (Bersukacita dan Bergembiralah). Beliau mengatakan: “Dengan seruan ini saya ingin menekankan terutama pada panggilan untuk kekudusan yang ditujukan Tuhan kepada kita masing-masing, sebuah panggilan dengan mana Dia menyapa secara pribadi lepas pribadi, bagi Anda juga. Sebab itu jangan takut akan kekudusan. Kekudusan itu tidak akan menghilangkan tenaga, vitalitas, atau kegembiraan Anda.” Di dalam Seruan Apostolik ini, Bapa Suci menekankan lima poin penting di mana kita bersukacita dan bergembira untuk menjadi kudus yakni pertama, kekudusan berarti menjadi diri sendiri artinya Setiap orang percaya perlu “membedakan jalannya sendiri” dan “memunculkan yang terbaik dari dirinya sendiri”. Kedua, Kehidupan sehari-hari yang nyata dapat memimpin kita kepada kekudusan. Ketiga, Menghindari dua kecenderungan utama: Gnostisisme dan Pelagianisme. Keempat, Bersikap baik dan Kelima, Ucapan Sabda Bahagia adalah penunjuk jalan menuju kekudusan.

Dari kelima poin yang menggambarkan isi Seruan Apostolik Gaudete et Exultate ini, saya mau memfokuskan perhatian kita pada salah satu ciri khas kekristenan kita yaitu bersikap baik. Paus Fransiskus memberi contoh-contoh praktis dalam hidup sehari-hari seperti jangan bergosip, hentikan sikap memberi penilaian dan berhenti bersikap kejam. Selain itu beliau berpesan: “Fitnah dan umpatan bisa menjadi hal yang biasa, karena semua hal dapat diungkapkan di sana, tidak dapat diterima dalam wacana publik, sebab orang-orang mencari untuk mengimbangi ketidakpuasan mereka sendiri dengan menertawakan atau memukul orang lain. Dalam mengklaim untuk menegakkan perintah-perintah lain, mereka benar-benar mengabaikan Perintah Allah kedelapan, yang melarang membuat saksi palsu atau berbohong dan dengan kejam memfitnah orang lain.” Contoh-contoh praktis ini memang terjadi dalam hidup kita setiap hari hanya banyak orang tidak menyadarinya sebagai dosa.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini sangat menginspirasi kita untuk hidup sebagai orang Kristen yang terbaik sehingga dapat mencapai kekudusan sebab kekudusan juga diperuntukan bagi kita. Namun untuk mewujudkan kekudusan itu terdapat banyak tantangannya. Nabi Yesaya dan Tuhan Yesus mengungkapkan berbagai kelemahan manusia yang mengakibatkan manusia itu jatuh dalam dosa sehingga tidak menggapai kekudusan pribadi. Tuhan melalui nabi Yesaya memberi kritikan keras kepada para pemimpin Sodom yang berpikir bahwa sudah cukuplah mempersembahkan kurban bakaran berupa domba jantan dan anak lembu tambun yang berlemak. Tuhan mengatakan ketidaksukaan-Nya kepada darah lembu, kambing dan domba. Mengapa Tuhan tidak suka? Sebab mereka kelihatan terpaksa mempersembahkan kurban bakaran kepada Tuhan. Sebab itu Tuhan mengatakan ‘baunya menjijikan bagi-Nya’. Semua perayaan yang dilakukan di hadapan Tuhan berisi kemunafikan sebab isinya adalah kejahatan. Sikap-sikap seperti ini membuat Tuhan memalingkan wajah-Nya ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Tuhan Yesus juga melihat sisi-sisi kelemahan manusia. Misalnya, ada di antara orang-orang pada zaman-Nya dan kita yang membaca Injil saat ini yang lebih cenderung memprovokasi perpecahan bukan damai, permusuhan-permusuhan di dalam keluarga akibat kerakusan terhadap harta. Hati orang melekat pada harta dan mengabaikan nilai hidup manusia. Keengganan orang untuk tidak mau berkorban, memikul salib untuk kebahagiaan sesamanya, kesulitan untuk memberi kesaksian yang benar tentang hidup kristiani yang sesungguhnya. Semua kelemahan manusiawi ini ada di dalam diri kita, dan di dalam gereja kita. Saya teringat pada sebuah perkataan Paus Fransiskus pada tanggal 9 Oktober 2018 yang lalu bahwa Gereja adalah rumah Tuhan. Sebab itu janganlah gereja itu diubah menjadi pasar atau ruang publik yang di dominasi oleh keduniawian. Ini adalah sebuah kritik sosial bagi gereja dan para pelayan yang ‘memasang tarif’ dalam pelayanan-pelayanan sakramen.

Dengan melihat berbagai kelemahan ini, apakah kita harus mengalah begitu saja dan membiarkan dunia semakin gelap karena dosa? Tentu saja tidak. Tuhan akan mengubah hati manusia yang keras untuk menjadi lembut dan mampu mengasihi dengan kasih Tuhan. Apa saja yang dapat kita lakukan dalam hidup untuk menuju kepada kekudusan? Tuhan memberi jalan pertobatan yang pasti melalui nabi Yesaya berikut ini: “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes 1:16-17). Buah pertobatan adalah kasih dan kebaikan sebab kita sendiri mengalaminya dari Tuhan. Pertobatan radikal merupakan pengalaman akan Allah yang nyata.

Tuhan Yesus juga membuka jalan kekudusan bagi kita untuk menyadari kehadiran-Nya dalam hidup kita setiap hari. Misalnya, Ia meminta kesiapan kita untuk memikul salib dan mengikuti-Nya dari dekat. Salib adalah penderitaan pribadi yang membuakan kebahagiaan bagi sesama, bahkan salib dapat membuat orang kehilangan nyawanya karena kasihnya kepada Tuhan Yesus. Dalam sejarah gereja kita memiliki banyak martir yang menyerahkan nyawanya karena cinta kepada Kristus. Tuhan Yesus menasihati supaya kita memiliki kerelaan untuk menyambut sesama karena dengan demikian kita juga menyambut Tuhan sendiri. Inilah perkataan Yesus: “Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku. Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar.” (Mat 10:40-41). Selain kerelaan untuk menyambut, Yesus juga mengajarkan semangat berbagi dengan sesama manusia. Inilah perkataan Yesus: “Barangsiapa memberi air sejuk secangkir sajapun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.” (Mat 10:42).

Hidup Kristiani menjadi nyata dalam kasih. Tuhan mengajar kita untuk mengasihi bukan untuk membenci. Kasih itulah yang mengantar kita untuk masuk dalam kekudusan karena kekudusan adalah milik Allah. Kita masuk dan menjadi bagian dari Tuhan sendiri. St. Paulus berkata: “Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup.” (Rm 14:7-9). Kita wujudkan diri kita sebagai milik Tuhan dengan menjadi kudus. Dengan demikian kita juga dapat menyaksikan keselamatan yang dari Allah (Mzm 50:23).

PJ-SDB