Homili 17 Juli 2020

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XV
Yes. 38:1-6,21-22,7-8
MT Yes. 38:10,11,12abcd,16
Mat. 12:1-8

Merenungkan belas kasih Tuhan

Ada satu pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh banyak di antara kita ketika mengawali masa prapaskah yakni soal puasa dan pantang menurut ajaran Gereja Katolik. Biasanya para Bapa Uskup selalu menulis surat gembala Prapaskah dan memberikan berbagai anjuran untuk melakukan puasa dan pantang dengan baik. Namun, pada tahun berikutnya, pertanyaan yang sama ini muncul kembali dan para gembala juga semua agen pastoral harus menjelaskannya lagi kepada umat bersangkutan. Tahun berikutnya, pertanyaan yang sama muncul lagi dan butuh jawaban urgent. Begitulah umat katolik tertentu yang punya satu kebiasaan yaitu mudah lupa! Pemahaman tentang puasa dan pantang juga tidak lebih baik dari orang-orang Farisi tempo doeloe. Banyak orang Katolik yang berpikir tentang puasa dan pantang hanya sebatas ‘tidak boleh makan atau minum ini dan itu’ atau ‘berapa kali kita makan ini dan itu.’ Situasi ini tetap berlanjut turun temurun. Anda mungkin salah satu yang terbiasa bertanya tentang puasa dan pantang karena mudah lupa.

Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan seputar puasa dan pantang menandakan bahwa iman kita masih tetap berada di tempat, belum berkembang signifikan. Kita puas dengan menerima sakramen insiasi (Pembaptisan, Krisma dan Ekaristi) dan lupa bahwa kita harus bertumbuh dalam iman dan mempertanggungjawabkan iman kita. Wujud pertanggungjawaban iman kita adalah melakukan perbuatan belas kasih kepada sesama manusia di hadapan Tuhan. Legalitas dalam beragama itu butuh supaya umatnya berkomitmen pada kebaikan tetapi bukan untuk menindas dan merampas hak hidup orang banyak.

Pada hari ini kita mendengar kisah injil yang sangat menarik. Pada suatu hari Sabat Yesus dan para murid-Nya berjalan di sebuah ladang gandum. Mereka merasa lapar sehingga memetic bulir gandum dan memakannya. Tentu saja perbuatan ini bertentangan dengan adat kebiasaan juga hukum yang melarang mereka untuk bekerja pada hari Sabat. Orang-orang Farisi pun menegur Yesus karena seolah membiarkan para murid-Nya berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat. Tuhan Yesus melihat bahwa kaum Farisi memang pelupa. Mereka lupa akan sebuah kisah Daud dan pasukannya dalam 1 Sam 21:1-10. Ketika itu mereka masuk ke dalam Bait Allah, mengambil roti sajian yang sebenarnya hanya boleh di makan oleh imam-imam. Roti sajian itu tidak diperuntukan bagi orang-orang biasa. Tetapi mengapa diperbolehkan? Hukum itu memang dibuat oleh manusia untuk kebaikan manusia maka hukum harus melihat nilai kehidupan manusia. Ketika Daud dan para pengikutnya kelaparan, mereka tidak harus dibiarkan kelaparan dan mati, tetapi mereka harus dibantu untuk hidup, dengan memakan roti sajian. Hal yang sama terjadi bagi para murid Yesus yang merasa kelaparan dan memakan bulir gandum. Maka hukum memang tetap hukum, tetapi kasih dan kebaikan harus tetap menjadi sebuah prioritas.

Tuhan Yesus membuka ruang kesadaran kaum Farisi dengan mengatakan tiga hal penting. Pertama, Yesus melebihi Bait Allah. Bait Allah hanyalah sebuah Gedung, yang tersusun dari batu-batu dan berbagai ornament yang mengagumkan. Namun Yesus mengatakan bahwa akan tiba saatnya bait Allah yang indah itu akan menjadi puing-puing. Ini terjadi pada tahun 70 ketika orang-orang Romawi menghancurkannya. Kedua, Hal terpenting dalam hidup ini bukan soal legalitas yang keras tanpa melihat nilai hidup manusia. Maka Yesus mengulangi apa yang sudah dikatakan nabi Hosea (Hos 6:6) bahwa yang dikehendaki-Nya adalah belas kasihan dan bukan persembahan. Ketiga, Yesus adalah Anak Allah. Dia adalah Tuhan atas hari Sabat. Dialah yang menguduskan hari Sabat.

Saya mengingat sebuah pertanyaan dalam Youcat: “Mengapa orang-orang Kristen menggantikan hari Sabat dengan hari Minggu (no.364). Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2174-2176; 2190-2191) menjelaskan bahwa orang-orang Kristen mengganti hari Sabat dengan perayaan hari Minggu karena Yesus Kristus bangkit dari kematian pada hari Minggu. Ada tiga elemen penting dan mendasar. Pertama, Ia mengingatkan penciptaan dunia dan melambangkan perayaan kebaikan Allah yang megah sepanjang waktu. Kedua, Ia mengingatkan bahwa dunia dijadikan baru di dalam Kristus. Ketiga, di dalamnya terkandung tema beristirahat, yang bukan saja menyucikan perhentian dari kerja, namun juga merujuk pada peristirahatan kekal manusia dalam Allah.

Belas kasih Tuhan selalu menjadi prioritas pertama bagi seorang Kristen. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Karena itu, hendaklah kamu berbelas kasihan, sama seperti Bapamu yang juga penuh dengan belas kasihan.” (Luk 6:36). Artinya kita perlu menjadikan belas kasih ini sebagai sebuah karakter kita, menjadi sebuah kesaksian bahwa kita hidup bagi Tuhan di hadapan sesama. Tuhan menunjukkan belas kasih kepada semua orang. Nabi Yesaya dalam bacaan pertama menghadirkan wajah Allah yang berbelas kasih kepada Hizkia, raja Yehuda. Ketika itu beliau sedang sakit dan hampir mati. Yesaya menyampaikan kepadanya pesan Tuhan bahwa ia harus memberikan wasiatnya kepada keluarga sebab ia tidak akan sembuh, melainkan mati. Raja Hizkia mendengar perkataan nabi Yesaya lalu menangislah ia tersedu-sedu, dengan wajah menghadap ke tembok sambil berkata: “Ah Tuhan, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu.” (Yes 38:3).

Tuhan menunjukkan belas kasih-Nya kepada Hizkia. Ia menyampaikan kepada nabi Yesaya untuk menenangkan hidupnya dengan perkataan Tuhan ini: “Beginilah firman Tuhan, Allah Daud, bapa leluhurmu: Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu. Sesungguhnya Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi, dan Aku akan melepaskan engkau dan kota ini dari tangan raja Asyur dan Aku akan memagari kota ini.” (Yes 38: 5-6). Belas kasih Tuhan sungguh nyata bagi orang-orang yang berharap kepada Tuhan. Memang nama Hizkia menunjukkan campur tangan Tuhan baginya.

Hizkia mengalami belas kasih Tuhan. Memang nama Hizkia dalam Ibrani berarti Yahwe adalah kekuatanku. Beliau adalah Raja ke-XIII dari Yehuda yang memerintah dari tahun 725-697. Hizkia menjadi seorang raja yang kuat dan secara internasional diakui bijaksana. Di dalam soal politik luar negerinya ia berhadapan dengan persoalan, apakah ia harus menggabungkan diri pada Asyur ataukah pada Mesir. Setelah ia bersikap netral selama 10 tahun, kemudian ia menggabungkan dirinya pada suatu persekutuan yang memusuhi Asyur pada tahun 712 di bawah pimpinan Asydod. Tepat pada waktunya ia dapat mengundurkan diri. Pada tahun 702 ia menggabungkan diri pada Mesir untuk melawan Asyur dan dikalahkan oleh Sanherib di dekat Elteko. Ia diharuskan membayar upeti. Hizkia lalu memperkuat Yerusalem (Yes 22:10) memperkuat persediaan air kota. Politik dalam negerinya ditandai suatu pembaharuan religius dengan menghancurkan kebaktian di bukit, tugu peringatan Asyera, bahkan kebaktian ular tembaga.

Pada hari ini kita semua dikuatkan untuk merasakan dan mewartakan belas kasih Tuhan. Kita tidak hanya memberi persembahan atau melakukan karya amal kasih, mengumpulkan kolekte untuk keperluan Gereja, menjadi penyumbang tetap Gereja saja tetapi kita harus tetap berbelas kasih seperti Bapa di surga selalu berbelas kasih dengan kita yang lemah dan berdosa.

PJ-SDB