Homili 31 Desember 2020

31 Desember 2020
1Yoh. 2:18-21
Mzm. 96:1-2,11-12,13
Yoh. 1:1-18

Aku menulis kepadamu

Kita berada di hari terakhir di tahun 2020 ini. Saya sedang mengingat kembali pengalaman terakhir di rumah duka Heaven. Setelah merayakan misa requiem, kami semua mengantar jenasah ke tempat kremasi. Seluruh anggota keluarga mengadakan foto bersama, menaburkan bunga-bunga semerbak wangi di atas peti jenasah. Selanjutnya peti jenasah itu perlahan-lahan didorong untuk masuk ke oven dan pintu oven pun perlahan-lahan tertutup dan selesailah hidup lama, mulailah hidup baru. Pengalaman yang sama mengingatkan saya juga pada empat puluh hari yang lalu, di mana saya memimpin ibadat penguburan mama saya Maria Bunga Keraf. Setelah kami anak-anak, cucu dan cicit membisikan kata-kata doa dan perpisahan di telinga mama, maka peti jenasah pun ditutup lalu diarak dalam prosesi ke kuburnya. Peti jenasah pun dimasukkan dan perlahan-lahan kubur mama pun ditutup dengan campuran semen. Semuanya berlangsung begitu cepat dan sekarang tinggal kenangan-kenangan manis.

Pengalaman-pengalaman ini saya tulis kepadamu pada hari terakhir tahun 2020 ini untuk mengatakan bahwa waktu yang sedang kita hidupi ini perlahan-lahan akan berlalu seperti peti jenasah yang masuk ke oven atau saat sebuah kuburan ditutup dengan campuran semen. Semuanya berlangsung perlahan-lahan namun pasti! Semuanya akhirnya meninggalkan kenangan-kenangan yang sulit untuk dilupakan begitu saja. Sekarang pikirkanlah pengalaman-pengalaman yang membahagiakan dan pengalaman-pengalaman yang kurang membahagiakan. Semua itu telah lewat di dalam hidup kita dan perlahan-lahan berlalu begitu saja. Dan besok kita akan memasuki sebuah kurun waktu yang baru. Maka perkataan ini memiliki makna yang indah bagi kita: “Hari kemarin adalah kenangan, Hari ini adalah kesempatan, dan haru esok adalah harapan dari berbagai kenyataan.” Maka satu kata yang patut keluar dari mulut kita adalah syukur.

Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM) adalah seorang negarawan dan penulis Romawi Kuno. Ia pernah berkata: “Hati yang penuh syukur bukan saja merupakan kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan induk dari segala kebajikan yang lain.” Perkataan ini sederhana namun sangat bermakna bagi hidup kita. Milikilah hati yang penuh syukur karena hati yang demikian akan melahirkan kebajikan-kebajikan yang baru. Kita sungguh-sungguh menjadi manusia kalau kita tahu bersyukur kepada Tuhan. Saya juga mengingat Alan Cohen. Penulis dari Amerika ini pernah berkata: “Orang-orang yang sukses adalah mereka yang berterima kasih atas semua yang mereka miliki. Mengucap syukur atas apa yang selalu kami buka untuk mendapat lebih banyak lagi, dan tidak bersyukur selalu menutup pintu.” Sungguh super sekali perkataan ini.

Aku menulis kepadamu tiga kata yang patut saya sampaikan kepadamu dan sangat berguna dalam hidup kita. Pertama, Mari kita berani untuk meminta tolong. Ternyata sepanjang satu tahun yang akan berlalu, kita terlampai percaya diri dan mengandalkan diri sendiri. Kita merasa bisa mengubah dunia tetapi ternyata bukanlah demikian. Kita masih membutuhkan orang lain untuk terlibat dalam hidup kita. Beranilah meminta tolong dari Tuhan dan sesamamu. Kedua, mari kita berani meminta maaf. Ternyata sepanjang satu tahun ini kita mengalami kesulitan dalam meminta maaf kepada Tuhan dan sesama. Kita selalu membuat kesalahan baik kepada Tuhan maupun sesama, namun kita sangat sulit untuk meminta dan memohon maaf. Hanya orang yang rendah hati memiliki keberanian untuk meminta maaf. Ketiga, mari kita belajar untuk selalu bersyukur. Kita meninggalkan tahun ini dengan penuh kenangan yang patut dan perlu kita syukuri. Kita bersyukur atas pengalaman yang pahit, kita bersyukur atas pengalaman manis. Ketiga kata ini mengantar kita untuk memasuki tahun baru dengan hidup yang baru.

Aku menulis kepadamu, demikian perkataan Yohanes dalam suratnya (1Yoh 2:21) dan saya meminjamnya untuk menulis dan mengatakan kepadamu tentang tahun yang perlahan-lahan akan berlalu. Mari kita berlangkah memasuki tahun baru ini dengan optimisme, dengan penuh harapan karena kita percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Terang yang akan menghalau segala kegelapan. Yohanes bersaksi dalam Injil: “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya. Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.” (Yoh 1:4-5.9). Dengan kepercayaan seperti ini saya yakin badai akan berlalu. Pandemi yang menyusahkan ini akan berlalu dan Tuhan sendiri akan memulihkan kita.

Saya mengakhiri refleksi akhir tahun ini dengan mengutip St. Theresia dari Kalkuta: “Jangan biarkan setiap orang yang datang pada anda, pergi tanpa merasa lebih baik dan lebih bahagia. Jadilah ungkapan hidup dari kebaikan Tuhan. Kebaikan dalam wajah anda, kebaikan dalam mata anda, kebaikan dalam senyum anda.” Di masa pandemi ini mari kita membaharui diri dengan memupuk habitus baru: ‘sharing is caring’. Kita berbagi sebagai tanda kepedulian kepada sesama kita. Dengan berbagi kita menunjukkan kebaikan Tuhan sendiri yang ada dalam hidup kita. Kebaikan dalam wajah, dalam mata dan dalam senyum keseharian kita.

Selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan. Ingatlah, kemarin adalah kenangan dan esok adalah harapan tapi yang paling penting, hari ini adalah kenyataan yang harus di jalani sebaik-baiknya. Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan melihat dan mengasihi kita.

P. John Laba, SDB