Homili 22 Februari 2021

Pesta Takhta St. Petrus
1Ptr. 5:1-4;
Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6;
Mat. 16:13-19.

Takhta bukan untuk berkuasa

Saya merasa yakin bahwa banyak di antara kita tidaklah buta terhadap media massa. Hampir setiap hari kita membaca berita-berita di media cetak dan media online tentang takhta dan kekuasaan. Perbincangan seputar pilkada serentak tahun 2024 bukan 2022 memanaskan telinga para pencari takhta dan kuasa. Orang yang demikian bisa menjadi gila dalam hal-hal tertentu, misalnya gila takhta atau kursi, gila kuasa, gila jabatan dan benar-benar gila karena tidak mendapatkan semuanya.

Pada hari ini kita mengenang Takhta Santo Petrus. Kita yang mengenal sosok santu Petrus pasti tersenyum. Dia seorang nelayan sederhana di Galilea yang dipanggil bersama saudaranya Andreas dan anak-anak Zebedeus yakni Yakobus dan Yohanes. Tuhan Yesus memanggil mereka dan menjadikan mereka sebagai penjala manusia. Tadinya mereka hanya penjala ikan untuk nafkah hidup mereka. Kini mereka menjadi rekan kerja Yesus yang menjala manusia, melayani manusia secara jasmani dan rohani dan membawa mereka kepada Yesus. Pelayanan dan pemberdayaan merupakan kata-kata yang penting dalam usaha menjala manusia.

Kalau demikian mengapa ada Takhta Santu Petrus? Bermula dari kebiasaan orang-orang Romawi Kuno berpegang teguh pada tradisi mereka untuk mengenang dan mengormati para leluhur mereka setiap tanggal 22 Februari. Para leluhur memiliki tempat istimewa dalam perjamuan karena ada keyakinan bahwa mereka juga hadir bersama orang-orang yang hidup. Kebiasaan ini kemudian diubah oleh komunitas Kristen di Roma, terutama pada abad ke-IV dimulai penghormatan kepada takhta yang didedikasikan kepada Santu Petrus, pemimpin Gereja Roma. Hingga saat ini pesta ini memiliki makna tanda syukur kepada Tuhan atas kehadiran-Nya untuk memimpin dan menggembalakan Gereja melalui Petrus dan para penggantinya. Mereka adalah para Paus kita hingga saat ini.

Banyak orang merindukan misa kudus di gereja Katedral. Kata Katedral berasal dari Bahasa Latin yaitu cathedra yang berarti tempat duduk. Dalam bahasa Yunani disebut kathedra (καθέδρα) yang berarti tempat duduk, kursi. Hingga saat ini di setiap Gereja Katedral terdapat Takhta atau kursi khusus untuk Uskup setempat. Takhta Uskup hanya bisa diduduki oleh Uskup di gereja katedral. Di gereja-gereja biasa atau kapela, uskup dan imam boleh duduk di kursi yang sama. Ketika uskup duduk di kursi atau takhtanya, ia memiliki kekuatan untuk mengajar dan melayani Gereja lokal dan universal.

Mari kita berdoa supaya para gembala kita jangan mencari takhta dan lupa melayani. Para gembala yang tidak bersifat klerikal tetapi terbuka dan bekerja sama dengan kaum awam untuk melayani Gereja Kristus. Para gembala yang berbau domba sehingga melayani dengan penuh sukacita, bukan gembala yang menikmati takhta sampai lupa melayani umatnya. Masa pandemi menjadi ujian bagi para gembala untuk berani meninggalkan takhta yang selama ini menjadi zona nyamannya dan berani untuk masuk ke zona yang penuh perjuangan sehingga menuntut keberanian. Kalau gembala tidak berbau domba dan tidak kreatif dalam melayani maka kelesuan akan semakin menguasai Gereja kita.

Hari ini kita berdoa untuk para gembala untuk membaktikan diri secara total bagi Gereja. Melayani lebih sungguh, melayani semakin kreatif, melayani tanpa memilih dan memilah. Semua orang patut dilayani dalam doa, kurban dan derma.

St. Petrus, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB