Homili 13 April 2021

Hari Selasa, Pekan Paskah ke-2
Kis. 4:32-37;
Mzm. 93:1ab,1c-2,5;
Yoh. 3:7-15

Mengembangkan semangat Empati

Adalah Stephen Covey (1932-2012). Beliau adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika, pernah berkata: “Ketika kamu menunjukkan empati yang besar terhadap orang lain, energi negatif mereka menurun dan digantikan oleh energi yang positif. Itulah ketika kamu lebih kreatif dalam menyelesaikan masalah.” Kata empati merujuk pada suatu kemampuan manusia untuk mengenali, memahami, dan berbagi pemikiran dan perasaan orang lain. Seseorang yang memiliki perasaan empati biasanya memiliki kemampuan untuk memahami secara emosional apa yang dirasakan orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang mereka, dan membayangkan dirinya pada tempatnya. Maka sikap dan perasaan empati adalah sikap dan perasaan yang menempatkan diri pada posisi orang lain dan merasakan apa yang mereka rasakan. Dengan mengembangkan empati maka energi negatif menurun dan energi positif meningkat.

Pada masa pandemi ini, semangat empati yang kita miliki secara pribadi perlu kita kembangkan dan tunjukan secara nyata. Banyak saudari dan saudara yang sangat membutuhkan tangan yang ringan untuk menolong, badan yang rela membungkuk untuk menerima dan bersyukur. Selama beberapa hari terakhir ini empati menjadi sebuah kata yang bukan sebagai selogan tetapi sungguh nyata dalam perbuatan. Di tengah pandemi ada bencana banjir di NTT dan gempa bumi di Malang. Dalam situasi seperti ini kita menyaksikan orang menunjukkan semangat empatinya, dan benar-benar menjadi sesama bagi manusia yang lain. Semangat dan perasaan empati ini tidak memandang suku-agama, ras dan golongan manusia. Bahwa dia adalah manusia maka layaklah untuk menunjukkan empati kepadanya.

Selama masa Paskah ini, empati sungguh nyata. Tuhan menunjukkan empati-Nya bagi manusia dengan mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya. Empati bukanlah sebuah perkataan semata tetapi suatu kenyataan. Dalam percakapan antara Tuhan Yesus dan Nikodemus, Tuhan Yesus mengatakan kepadanya: “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak Manusia. Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:13-15). Di sini Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya sebagai ‘Anak Manusia’. Dia sebagai Anak Manusia yang ditinggikan merupakan saat dimana Dia menderita dan mengalami penyaliban. Semua orang memandang Dia yang disalibkan. Dengan memandang Dia yang disalibkan maka orang menjadi percaya kepada-Nya. Kita mengingat kesaksian dari Penginjil Markus tentang pengakuan kepala pasukan kepada Yesus di kaki salib: “Waktu kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan Dia melihat mati-Nya demikian, berkatalah ia: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Mrk 15:39).

Dampak sikap dan perasaan empati Yesus sang Anak Manusia bagi kita adalah pada perubahan kiblat hidup kita. Tuhan Yesus menggunakan kata “dilahirkan kembali” yang mengherankan Nikodemus. Namun Tuhan Yesus bermaksud untuk menyadarkan Nikodemus tentang pentingnya membangun semangat pertobatan radikal dalam diri manusia. Setiap orang yang mengikuti Tuhan Yesus Kristus harus dilahirkan kembali. Hidup baru harus benar-benar dimiliki oleh setiap pengikut Kristus.

Apa yang menjadi kekhasan empati kita saat ini?

St. Lukas dalam Kisah para Rasul mengisahkan tentang semangat Gereja perdana yang penuh dengan empati. Apa yang terjadi saat itu? Dikisahkan oleh Lukas: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 3:42). Semangat empati ditunjukkan dengan semangat sehati dan sejiwa bagi orang-orang yang percaya kepada Kristus. Mereka juga merasa bahwa segala sesuatu adalah milik bersama dan tentu menjadi tanggung jawab bersama. Di samping kebersamaan yang mereka bangun bersama, satu hal yang tetap menjadi tanggung jawab mereka adalah terus mewartakan kebangkitan Kristus kepada bangsa-bangsa.

Bagaimana mengembangkan semangat empati ini? Dikisahkan bahwa setiap orang menjual apa yang mereka miliki, membawa hasil penjualannya itu dan menggunakannya secara bersama-sama. Inilah vita comunis, hidup bersama. Lukas menggambarkannya seperti ini: “Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.” (Kis 4:34-35).

Kita semua dipanggil untuk mengembangkan semangat empati di dalam hidup kita. Dengan semangat empati atau belarasa kita akan menunjukkan jati diri kita sebagai manusia. Mari kita berusaha untuk mengembangkan semangat empati ini di masa pandemi ini. Empati adalah sebuah gerakan hidup baru, lahir baru dalam masa pandemi. Semoga energi negatif semakin menurun dan energi positif semakin meningkat.

P. John Laba, SDB