Solidaritas
Pada sore hari ini saya melihat sebuah film pendek tentang tiga ekor anjing tipe labrador yang berusaha untuk menyelamatkan seekor kucing kecil dari ancaman ular piton yang lapar. Peristiwa menarik itu terjadi di pekarangan rumah seseorang. Ular piton yang kelihatan lapar itu melihat kucing yang sedang duduk ngantuk-ngantuk sebagai calon santapan lezat. Tetapi dia tidak sadar bahwa ada tiga ekor anjing labrador yang menjadi sahabat hariannya di rumah. Dalam waktu singkat ketiga anjing itu berhasil melumpuhkan ular itu dan diapun menghilang. Kucing kecil itu datang dan menyapa ketiga anjing yang telah menyelamatkannya. Sungguh suatu tontonan yang memiliki nilai edukasi yang luar biasa.
Saya membayangkan bahwa kalau saja semua orang bisa berusaha untuk melindungi sesamanya yang lemah dan menderita maka akan begitu indah dunia yang kita huni ini. Lihatlah di sekitar kita, masih begitu banyak orang yang lemah dan tak berdaya. Mereka sedang butuh perhatian dan kepedulian dari sesama yang lain, termasuk anda. Jangan ada dalam ensiklopedimu kata ‘egp’ alias emang gue pikirin. Selama masa pandemi ini kita menemukan begitu banyak orang yang seperti itu. Di sinilah solidaritas dan persaudaraan sejati harus dibangun di dalam hati setiap manusia.
Saya mendapat banyak sharing pengalaman dari para sahabat kenalan yang bahu membahu mencari donasi untuk para saudara korban bencana banjir di NTT dan NTB. Di saat yang sulit akibat pandemi dan bencana alam ini kita akan menemukan siapa sebenarnya yang menjadi sesama manusia. Pengalaman ini sekaligus mempertegas pengalaman hidup sebagai orang beriman. Orang beriman selalu tergerak hati oleh belas kasihan. Hal ini sudah menjadi pengalaman Yesus ketika Ia melihat orang-orang laksana domba tanpa gembala. Dia selalu tergerak hati oleh belas kasihan kepada mereka.
Mengapa Yesus bersikap seperti itu? Karena Dia menampakkan wajah kerahiman Allah di dunia. Dia adalah kasih Bapa, tanda solidaritas Allah bagi manusia. Mari kita merenungkan perkataan Tuhan Yesus kepada Nikodemus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17). Tuhan Yesus adalah kasih Bapa, tanda solidaritas Bapa kepada manusia.
Saya mengakhiri refleksi tentang solidaritas ini dengan mengutip Bernard Werber. Penulis Prancis ini pernah berkata: “Semut bisa hidup bersama dalam solidaritas dan melupakan diri sendiri di tengah masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis normatif, setiap orang adalah egois. Dalam peradaban semut, Anda adalah bagian dari kelompok; Anda tidak hidup untuk diri sendiri.”
Kalau semut saja masih bisa bersolider, bagaimana dengan kita?
Tuhan memberkati,
PJ-SDB