Semakin mengasihi
Kita yang menjadi bagian dari Keuskupan Agung Jakarta masih mengingat APP kita tahun 2021 yang mengusung tema: “Semakin Mengasihi, Semakin Terlibat, Semakin menjadi Berkat”. Selama pertemuan-pertemuan APP secara luring dan daring, kiblat kita terarah pada kata-kata ini: “Semakin Mengasihi, Semakin Terlibat, Semakin menjadi Berkat”. Sebab itu pertanyaan bagi kita sebelum mengakhiri masa Paskah ini adalah apakah kita secara pribadi semakin mengasihi Tuhan dan sesama di masa pandemi ini? Apakah kita semakin terlibat dalam semangat dan karya pelayanan gereja masa kini misalnya dalam karya pelayanan teritorial dan kategorial? Apakah kita semakin menjadi berkat bagi sesama manusia? Sekarang ini adalah saat yag tepat untuk memanen buah-buah refleksi yang kita lakukan secara pribadi dan komunitas.
Saya selalu mengingat perkataan emas dari Nelson Mandela. Pejuang kemanusiaan dari Afrika Selatan ini penah berkata: “Tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Orang harus belajar untuk membenci. Jika bisa belajar untuk membenci, maka mereka bisa diajar untuk mengasihi karena kasih lebih alamiah bagi hati manusia ketimbang sebaliknya.” Anda dan saya lahir ke dunia bukan untuk membenci mereka yang menjadi sesama. Kita perlu mengingat bahwa kita lahir ke dunia karena kasih dan kita hidup untuk mengasihi. Kasih itu berasal dari Tuhan, kita mengalaminya dan berusaha untuk melakukannya dalam hidup kita setiap hari. Hanya dengan perilaku seperti ini maka kita sungguh-sungguh menjadi manusia.
Saya tertarik dengan perkataan Tuhan Yesus pada malam perjamuan terakhir. Ia mengingatkan komunitas-Nya untuk selalu berdoa. Doa dapat mengubah segalanya, apa yang tidak terpikirkan oleh akal budi kita bisa dan akan terjadi. Semua itu karena anugerah Tuhan bukan karena kuat dan hebatnya diri kita sebagai manusia rapuh. Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku.” (Yoh 16:23). Tuhan Yesus menjadi satu-satunya pengantara atau ‘pontefice’ kita kepada Bapa, tidak ada yang lain. Para kudus kita adalah perantara doa-doa kepada Yesus Putera, sang gembala baik, satu-satunya pengantara kepada Bapa. Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium menjelaskan: “Sebab Allah itu esa, dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yakni manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang? (1Tim 2:5-6). Adapun peran keibuan Maria terhadap umat manusia sedikit pun tidak menyuramkan atau mengurangi pengantaraan Kristus yang tunggal itu, melainkan justru menunjukkan kekuatannya.” (LG, 60).
Selanjutnya Yohanes menulis: “Pada hari itu kamu akan berdoa dalam nama-Ku. Dan tidak Aku katakan kepadamu, bahwa Aku meminta bagimu kepada Bapa, sebab Bapa sendiri mengasihi kamu, karena kamu telah mengasihi Aku dan percaya, bahwa Aku datang dari Allah.” (Yoh 16:26-27). Mari kita memandang Yesus. Dia selalu mengarahkan pikiran-Nya kepada kita. Ia memandang kita dan mengasihi sampai tuntas. Lalu apakah kita semakin mengasihi, semakin terlibat dan semakin menjadi berkat bagi sesama di sekitar kita?
Tuhan Yesus memberkati, Bunda Maria mendoakan kita semua.
P. John Laba, SDB