Homili 16 Juni 2021

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XI
2Kor. 9: 6-11;
Mzm. 112:1-2,3-4,9;
Mat. 6:1-6,16-18

Memberi dengan tulus hati

Tiada hari tanda kata ‘pendemi’ yang keluar dari mulut atau yang dibaca melalui tulisan-tulisan di berbagai media. Kata ‘pandemi’ yang tadinya masih asing di telinga banyak orang namun kini menjadi kata yang biasa-biasa saja dan begitu akrab. Semua orang langsung mengerti maknanya dan lebih lagi ketika menambahkan ‘covid-19’ untuk melengkapi maknanya. Dan sambil menyebut kata ‘pandemi’ kita juga diingatkan akan sikap sosial yang perlu kita kembangkan sebagai wujud nyata hidup kita sebagai makhluk sosial. Meskipun kita semua mengalami kesulitan, namun di mana-mana terdapat gerakan untuk menolong sesama yang mengalami musibah akibat pandemi covid-19. Gerakan untuk memberikan sembako, alat-alat Kesehatan dan aneka bantuan lain menunjukkan semangat persaudaraan sejati. Di saat-saat yang sulit seperti ini, kita akan mengerti lebih dalam lagi makna persaudaraan sejati. Kita akan mengerti makna ‘siapakah sesamaku manusia’.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita tentang pentingnya berbagi sebagai tanda empati di dalam hidup sosial kita. Mari kita memperhatikan arah pemikiran santo Paulus. Beliau mula-mula mengingatkan jemaat di Korintus tentang prinsip tuai tabur: “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (2Kor 9:6). Kualitas hidup seseorang dilihat dari karya nyata yang dilakukannya bukan semata-mata dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya. Apa yang ditabur, itu juga yang dituai dalam hidup meskipun semuanya ini tergantung pada kehendak Tuhan sang Pencipta.

Satu aspek yang Tuhan kehendaki dari kita adalah kemampuan kita untuk selalu berbuat baik dan bermurah hati kepada sesama manusia. Berkaitan dengan ini, St. Paulus mengatakan: “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.” (2Kor 9:7-8). Saya selalu percaya pada perkataan-perkataan Tuhan ini. Di masa pandemi ini ada orang yang tidak takut untuk menjadi miskin. Mereka tetap berada di barisan depan untuk meringankan beban hidup sesamanya. Orang-orang seperti ini murah hati dan memberi dengan sukacita. Mereka percaya kepada penyelenggaraan ilahi, dalam hal ini, Tuhan sendiri yang mencukupkan segala yang dibutuhkan di dalam hidup mereka. Ada juga orang-orang yang menjadi pelit, sulit untuk berbagi dan takut menjadi miskin. Sikap sosial itu haruslah menjadi bagian dari hidup kita. Sikap murah hati akan benar-benar menunjukkan jati diri kita sebagai manusia.

Kemampuan untuk berbagi juga menjadi ciri khas pengajaran Yesus di bukit Sabda bahagia. Orang menjadi sungguh-sungguh Kristiani dapat mengungkapkannya dalam tiga hal penting ini:

Pertama, kemampuan untuk berbagi atau melakukan perbuatan amal kasih. Tuhan Yesus memberi nasihat penting ini: “Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:3-4). Nasihat pertama ini mudah dilanggar. Orang memberi dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan mengambil foto supaya di posting atau demi membangun kepercayaan dari donator.

Kedua, meningkatkan semangat untuk berdoa. Tentang doa, Tuhan Yesus menasihati kita: “Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:6). Tuhan Yesus mengoreksi kebiasaan-kebiasaan doa yang keliru. Salah satunya adalah kemunafikan dalam berdoa. Orang muda puas dan berpikir dia sudah berada di surga, padahal itu tidak lebih dari kesombongan rohani.

Ketiga, Semangat untuk berpuasa. Tuhan Yesus berkata: “Apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:17-18). Ini juga merupakan koreksi Tuhan Yesus atas kemunafikan diri kita yang cenderung berpikir bahwa kita mengobservasi kebiasaan tertentu seperti berpuasa. Ada orang berpuasa tetapi menceritakan kepada orang lain bahwa ia sedang berpuasa. Apakah kita perlu cukup rendah hati untuk tidak perlu menceritakan bahwa kita sedang berpuasa? Tuhan melihat hati bukan tampilan luarnya.

Pada hari ini Tuhan mengingatkan kita untuk memberi dengan sukacita. Kita memberi diri, waktu, bakat dan kemampuan kita di masa pandemi ini untuk membahagiakan sesama manusia. Tuhan tidak pernah menghitung-hitung pemberian-Nya kepada manusia. Kita yang selalu menghitung-hitung apa yang sudah kita berikan kepada-Nya dan kepada sesama manusia. Mari kita membaharui hidup dan karya kita untuk kemuliaan nama Tuhan.

P. John Laba, SDB