Food For Thought: Seorang misionaris sejati

Misionaris yang hebat

Saya selalu bangga dengan sosok seorang misionaris. Ia sudah puluhan tahun, rambutnya memutih di tanah misi. Ketika kembali ke kampung halamannya dia tetap sosok misionaris yang sederhana, pakaiannya kelihatan ‘yang itu terus’. Banyak orang bertanya-tanya mengapa setiap lima tahun kalau beliau berlibur, pakaiannya selalu ‘yang sama ya’. Apakah di tanah misi ada pabrik atau konveksi? Ada orang yang berani bertanya kepadanya dan dia hanya menjawab: “Hidup saya sebagai misionaris memang seperti ini, dan saya merasa bahagia bisa melayani Tuhan di tanah misi”. Sikap hidupnya ini yang selalu menginspirasi banyak orang untuk ‘ingin tahu’ tentang kehidupan misionaris dan tanah misi.

Kadang-kadang keluarga tertentu merasa bangga karena memiliki seorang saudara yang berkarya sebagai misionaris di manca negara. Misionaris itu sebuah panggilan bukan sekedar kesukaan semata. Di tanah misi itu mereka bekerja keras untuk mewartakan Injil dan bekerja secara manual untuk bisa hidup. Misionaris bukan duduk di kantor tetapi berkebun, mencangkul, membajak, menanam dan menuai untuk diri sesama yang dilayani dan dirinya sendiri. Pikirkanlah, berjam-jam dan berhari-hari mereka menyeberangi sungai, selalu ada bahaya di depan mata mereka. Kadang-kadang ada rasisme yang menghantam mereka. Semua itu mereka simpan sebagai ‘perkara’ di dalam hati mereka. Misionaris tetaplah sebuah panggilan yang indah di dalam Gereja.

Pada saat ini kita berbangga sebagai orang katolik. Pernahkah kita membayangkan sosok seperti Santo Paulus? Mulanya dia adalah Saulus yang ‘dikhususkan’ untuk sebuah perutusan istimewa sebagai Paulus oleh Roh Kudus. Dia berkeliling dan berbuat baik. Berkali-kali ia mengalami penderitaan dan kemalangan. Namun Paulus tetaplah misionaris sejati. Dia tidak mengeluh dan tidak menuntut upah. Upahnya adalah terus mewartakan Injil dengan rendah hati. Paulus pernah berkata: “Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai pemberita Injil.” (1Kor 9:18). Dari Paulus semangat misionaris ini menggelora dan membakar semangat Gereja untuk terus pergi dan mewartakan Injil.

Apakah kita pernah bersyukur karena berjumpa dengan para ‘misionaris bule’ yang rela meninggalkan kampung halamannya, datang ke kampung halaman kita untuk menginjili dan memanusiakan banyak di antara kita? Banyak orang merasa berhutang budi karena jasa misionaris yang mewartakan Injil, mendidik dan memanusiakan manusia di kampung halaman kita. Ada yang mengatakan bahwa mereka bisa belajar ‘memakai celana’ karena kebaikan misionaris itu. Mereka mau minum air yang keruh dan makan makanan yang sederhana tanpa takut mati. Mereka tidak takut dengan penyakit malaria. Misionaris memang anak Tuhan. Tuhan melindungi mereka hingga keabadian mereka.

Pada hari ini saya sangat tersentuh oleh pengakuan iman St. Paulus. Ia berkata kepada jemaat di Korintus: “Dan ketika aku dalam kekurangan di tengah-tengah kamu, aku tidak menyusahkan seorangpun, sebab apa yang kurang padaku, dicukupkan oleh saudara-saudara yang datang dari Makedonia. Dalam segala hal aku menjaga diriku, supaya jangan menjadi beban bagi kamu, dan aku akan tetap berbuat demikian. Demi kebenaran Kristus di dalam diriku, aku tegaskan, bahwa kemegahanku itu tidak akan dirintangi oleh siapapun di daerah-daerah Akhaya. Mengapa tidak? Apakah karena aku tidak mengasihi kamu? Allah mengetahuinya.” (2Kor 11:9-11).

Dari Paulus kita belajar untuk terus mewartakan Injil dengan hidup dan pengabdian kita. Dari Paulus kita belajar untuk memberi diri, tidak mengenal lelah dan menghitung berapa yang sudah kita berikan kepada Tuhan. Tuhan memberikan segalanya kepada kita, kita belum memberi seluruhnya kepada Tuhan. Terima kasih misionaris, terima kasih Gereja misionaris.

St. Paulus doakanlah kami. Bangkitkanlah semangat misioner di dalam Gereja Karistus Tuhan kita.

P. John Laba, SDB