Homili Hari Minggu Biasa ke-XII/B – 2021

Hari Minggu Biasa XIIB
Ayb. 38:1.8-11;
Mzm. 107:23-24,25-26,28-29,30-31;
2Kor. 5:14-17;
Mrk. 4:35-40

Merenung tentang kuasa Tuhan

Pada hari ini kita memasuki Hari Minggu Biasa ke-XII/B. Kita merasakan betapa waktu berlalu begitu cepat. Sementara itu, dalam masyarakat kita tetap terdengar rintihan begitu banyak orang yang menderita akibat Covid-19 yang rasanya semakin mengganas. Tiada waktu tanpa bunyi Sirene di sekitar Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. Semua orang yang tinggal di sekitar Wisma Atlet merasakan ketakutan yang luar biasa. Di saat seperti ini, muncul pertanyaan-pertanyaan ini: Apakah Tuhan masih ada? Apakah Tuhan sedang tidur lelap dan membiarkan dunia ini menderita berkepanjangan? Orang beriman sekalipun tetap bertanya kepada Tuhan ketika berhadapan dengan pengalaman-pengalaman hidup yang berat.

Dalam bacaan pertama kita mendengar tentang pengalaman rohani dari Ayub (Ibrani: אִיּוֹב). Kita semua mengenal sosok Ayub di dalam Kitab Perjanjian Lama. Beliau dikisahkan sebagai sosok yang sangat taat dan setia kepada Allah. Ini sekaligus menandakan bahwa Ayub adalah orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah. Ia memiliki banyak harta maka disebut sebagai orang “yang terkaya dari semua orang di sebelah timur.” Inilah daftar kekayaan Ayub: Ia memiliki 7 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Ia memiliki 7000 ekor kambing domba, 3000 ekor unta, 500 pasang lembu, 500 keledai betina, budak-budak dalam jumlah yang sangat besar. Malapetaka yang dialaminya adalah ia kehilangan segalanya dalam waktu singkat. Namun demikian, semua musibah dan malapetaka yang dialaminya sangatlah menguatkan iman dan kepercayaannya kepada Allah.

Selanjutnya, Tuhan memulihkan Ayub karena imannya. Tuhan juga memberkati Ayub dalam hidupnya yang selanjutnya, ia menerima kembali lebih daripada dalam hidupnya yang sebelumnya. Inilah yang diterimanya kembali dari Tuhan: 14000 ekor kambing domba, 6000 unta, 1000 pasang lembu, 1000 ekor keledai betina. Ia juga mendapat 7 orang anak laki-laki dan 3 orang anak perempuan; dan anak perempuan yang pertama diberinya nama Yemima, yang kedua Kezia dan yang ketiga Kerenhapukh. Di seluruh negeri tidak terdapat perempuan yang secantik anak-anak Ayub, dan mereka diberi ayahnya milik pusaka di tengah-tengah saudara-saudaranya laki-laki.

Hal-hal lain dari kehidupan Ayub yakni ia tidak mau merima kalau dipersalahkan orang. Di saat seperti ini Tuhan masuk dan menyadarkannya sebagai ciptaan lemah di hadirat Tuhan. Kita harus menyadari bahwa kekuasaan Allah jauh melebihi akal budi dan kehendak kita. Dari situ, kita harus berani berpasrah, diam, tunduk dan menyembah Tuhan. Perhatikan perkataan Tuhan ini sebagai reaksi atas pikiran Ayub ini: “Siapa telah membendung laut dengan pintu, ketika membual ke luar dari dalam rahim? Ketika Aku membuat awan menjadi pakaiannya dan kekelaman menjadi kain bedungnya; ketika Aku menetapkan batasnya, dan memasang palang dan pintu; ketika Aku berfirman: Sampai di sini boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan?” (Ayb 38:8-11). Dalam situasi apapun, Tuhan tetaplah berkuasa. Pengalaman Ayub adalah pengalaman Gereja sepanjang zaman.

Penginjil Markus mengisahkan bahwa perahu para murid Yesus dihantam ombak dan Tuhan Yesus menghardik angin dan meneduhkan danau. Perahu itu adalah simbol Gereja kita. Tuhan Yesus mula-mula mengajak para murid-Nya: “Marilah kita bertolak ke seberang”. Dalam usaha untuk ‘bertolak ke seberang’ ini, perahu mereka diserang topan yang mengamuk dan sangat dahsyat, air danau bahkan menyembur masuk ke dalam perahu. Para murid sangat ketakutan, sementara Yesus tidur dengan tenang di buritan. Para murid bersikap sangat manusiawi, masih diliputi suasana ketakutan padahal mereka sedang bersama Yesus. Mereka berkata kepada Yesus: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” (Mrk 4:38). Tuhan Yesus bereaksi pertama kepada angin dan danau bukan menegur para murid yang belum besar imannya. Penginjil Markus bersaksi: “Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.” (Mrk 4:39). Kepada para murid-Nya, Yesus berkata: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (Mrk 4:40).

Kisah pengalaman Ayub dalam dunia Perjanjian Lama dan para murid dalam bacaan Injil mewakili peziarahan Gereja sepanjang zaman. Gereja Katolik dalam peziarahannya mengalamai seribu satu tantangan. Misalnya, Gereja pernah mengalami penganiayaan dan kemartiran yang besar, perpecahan antara Gereja Timur dan Barat, reformasi gereja hingga lahir Gereja-Gereja Kristen. Pada saat ini gereja mengalami pukulan-pukulan dari dalam dan dari luar, misalnya skandal keuangan di Vatican, pedofilia dan berbagai bentuk pelecehan seksual dan lain sebagainya. Ini adalah topan yang sangat dahsyat, bahkan ombak menyembur di dalam perahu. Di saat seperti ini, Gereja tidak harus berteriak ketakutan tetapi mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Hanya Tuhan Yesus saja yang dapat menghardik angin dan meneduhkan danau.

Gereja tidak harus malu untuk mengakui diri sebagai gereja kaum pendosa sehingga dapat mengalami pembaharuan yang radikal. Kalau saja Gereja tidak menyadari diri sebagai gereja kaum pendosa maka yang ada hanya penderitaan dan kemalangan. Pada bulan Mei yang lalu, Kardinal Reinhard Marx selaku Uskup Agung Munich, Jerman menulis surat pengunduran diri karena masalah pedofilia di Jerman. Keinginan pengunduran diri Marx dipahami oleh Paus, namun pengunduran diri tersebut tak diterima. Kardinal Marx mengatakan ‘harus berbagi tanggung jawab institusional atas pelecehan seksual oleh para imam selama beberapa dekade terakhir.’ Surat pengunduran diri itu ditolak Paus Fransiskus. Paus menulis kepada Kardinal Marx: “Itulah jawaban saya, Saudaraku. Lanjutkan seperti yang Anda sarankan, tetapi sebagai Uskup Agung Munich.” Kardinal Marx sangat prihatin dengan situasi gereja kita sehingga dia memilih mundur tetapi tetap tidak direstui Paus Fransiskus.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua mengatakan, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka.” (2Kor 5: 14-15). Kita harus menjadi baru dalam Kristus. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang. Hanya Yesus saja yang menyelamatkan dan kita terbuka untuk diselamatkan. Semua ini bisa terjadi karena kasih dan kuasa Tuhan untuk menyelamatkan kita semua.

P. John Laba, SDB