Food For Thought: Gereja Bagai Bahtera

Gereja bagai bahtera

Pada hari Minggu pagi kemarin 20 Juni 2021, saya mendapat kiriman lagu dari Puji Syukur (PS, 621) yang dinyanyikan solo oleh artis Lisa A. Riyanto (https://youtu.be/qwx5pfLHz4A). Saya sendiri memang sudah mengenal lagu itu dan mendengarnya beberapa kali sebelum merayakan misa pagi bersama komunitas saya. Kata-kata yang sederhana dalam syair lagu itu tetapi sangat membantu untuk merenung misalnya: “Gereja bagai Bahtera, di laut yang seram. Mengarahkan haluannya ke pantai seberang. Mengamuklah samudera dan badai menderu. Gelombang zaman menghempas dan sulit ditempuh…” Ya, Gereja kita bagai bahtera yang selalu, dan sedang mengalami amukan samudera dan badai yang menderu. Rasanya Gereja kita sedang dihantam dari dalam dan dari luar. Tetapi Gereja kita tetap berdiri teguh karena didirikan di atas wadas bukan di atas pasir.

Lagu sederhana ini menginspirasi saya untuk merenung tentang pesan Injil hari Minggu Biasa ke-XII (Mrk. 4:35-40). Gereja kita laksana perahu yang ditumpangi Yesus dan para murid-Nya ke seberang danau dan mengalami ‘amukan taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air.’ (Mrk 4:37). Ada rasa takut di dalam diri para murid meskipun mereka sedang bersama-sama dengan Tuhan Yesus dan mereka sendiri adalah nelayan-nelayan yang handal. Tuhan Yesus sendiri menghardik angin dan menduhkan danau. Sungguh luar biasa kuasa Tuhan dalam hidup kita, di dalam hidup Gereja laksana bahtera atau perahu yang sedang kita tumpangi bersama. Ketakutan memang sangat manusiawi karena iman kita kepada Tuhan masih lemah, kecil dan rapuh. Tetapi Tuhan tetap hadir dan menguatkan kita semua. Kata-kata lain dalam syair lagu Gereja bagai bahtera: “Hai kau yang takut dan resah kau tak sendirian, teman sejalan banyaklah dan Tuhan di depan. Bersama-sama majulah bertahan berteguh, tujuan akhir Tuhanlah labuhan yang teduh.”

Saya mengatakan sebelumnya bahwa Gereja kita bagai bahtera yang mengalami amukan taufan. Sejak awal gereja kita mengalami berbagai penganiayaan. Tertulianus, seorang Bapa Gereja sampai mengatakan begini: “Il sangue dei cristiani, il sangue dei martiri, è seme dei cristiani.” (Darah umat Kristiani, darah para martir adalah benih iman Kristiani). Gejolak hingga terjadi pemisahan gereja Timur dan Barat, Reformasi Gereja yang melahirkan gereja-gereja reformasi menghiasi Gereja bagai bahtera ini. Pada saat ini Gereja menyadari dan meminta maaf atas pengalaman kegelapan yang pernah dilakukan Gereja. St. Yohanes Paulus II dalam tahun Yuibileum 2000 yang lalu berani meminta maaf atas nama Gereja. Pada saat ini masih banyak masalah seperti skandal-skandal keuangan di Vatikan, pedofilia dan pelecehan seksual yang dilakukan para gembala dan lain sebagainya. Apakah Gereja harus malu? Iya Gereja malu karena merasa lemah di depan dunia, tetapi ada Yesus yang menjadi pendirinya dan hanya Dialah yang meneduhkan taufan dan badai yang mengancam. Dan benar, Gereja kelihatan lemah secara manusiawi, tetapi tetapi berdiri di atas wadas yang kokoh. Tuhan menyertai Gereja hingga akhir zaman.

Gereja tetaplah Gereja yang kudus meskipun ada noda-noda hitam yang mencorengnya. Mengapa? Karena Tuhan Yesus yang mendirikan Gereja dan Dialah yang menguduskannya secara terus menerus. Dalam suasana penuh badai ini, saya tetap merasa bangga sebagai pengikut Kristus, tetap bangga sebagai orang Katolik, tetap bangga karena dikuduskan oleh Tuhan dalam sakramen baptis dan tetap dikuduskan hingga keabadian. Terima kasih Tuhan Yesus karena Engkau sendiri yang meneduhkan danau dan bahtera-Mu ini menjadi tenang. Terima kasih Tuhan Yesus karena Engkau sendiri yang tetap menguduskan Gereja-Mu ini.

Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB