Homili Hari Minggu Biasa ke-XIVB – 2021

Hari Minggu Biasa XIV
Yeh. 2:2-5;
Mzm. 123:1-2a,2bcd,3-4;
2Kor. 12:7-10;
Mrk. 6:1-6

Tuhan Yesus merasa heran!

Masa pandemi ini tetap berlanjut dan tidak diketahui kapan akan berakhir. Hidup kita menjadi sangat Kristiani karena selalu berjaga-jaga dan berdoa (Mat 26:41). Mengapa? Sebab kasus Covid-19 terus meningkat setiap hari dan sangat mencekam setiap pribadi. Untuk itu bapak Presiden Jokowi sebagai kepoala negara menyampaikan aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat yang resmi diberlakukan pada 3 Juli 2021 khusus kawasan Jawa dan Bali. Di harapkan supaya dengan pemberlakuan kegiatan masyarakat ini bisa menekan sekaligus menurunkan penularan Covid-19. Tentu saja situasi ini juga turut mempengaruhi iman kepada Tuhan. Rasanya ada kegoncangan iman yang besar dari kaum beriman dari semua agama di masa pandemi ini. Tuhan terasa begitu jauh dan sudah lupa dengan umat-Nya yang terpapar Covid-19 dan meninggal dunia. Kita sendiri bisa menghitung berapa sanak keluarga, berapa sahabat kenalan yang meninggal dunia akibat Covid-19 ini. Hal ini juga benar-benar menjadi sebuah pergumulan iman yang luar biasa.

Suasana yang digambarkan di atas sungguh terjadi saat ini. Namun tentu saja kita harus mengakui bahwa masih lebih banyak orang yang tetap setia kepada Tuhan. Dengan berdoa tanpa henti di rumah, pertemuan doa daring, mengikuti perayaan Ekaristi daring dan aktif dalam berbagai kegiatan karitatif, masih menunjukkan bahwa ada orang yang tetap setia kepada Tuhan. Maka di sini kita melihat ada dua tipe manusia, ada orang yang karena masa pandemi semakin menjauh dari Tuhan, tetapi masih lebih banyak lagi yang tetap percaya dan setia kepada-Nya. Situasi seperti ini tentu mengherankan bagi Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan Yesus sendiri pasti merasa heran ketika melihat orang-orang yang menamakan dirinya ‘pengikut-Nya’ tetapi tidak setia dan berkomitmen kepada-Nya di saat ada badai yang berkecamuk.

Pada hari Minggu Biasa ke-XIV/B ini kita berjumpa dengan sosok Yesus yang merasa heran dengan orang-orang di kampung halaman-Nya. Penginjil Markus menceritakan bahwa Tuhan Yesus bersama para murid-Nya tiba di Nazaret, kampung halaman-Nya. Pada hari Sabat Ia mengajar di dalam rumah ibadat sehingga membuat banyak orang merasa takjub kepada-Nya. Di samping ada yang merasa takjub, ada juga yang mencibir sekaligus mempertanyakan identitas manusiawi Yesus yang mereka kenal sebagai warga sekampung yang mendadak tenar. Inilah ungkapan orang-orang sekampung Yesus: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” (Mrk 6:2-3). Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut mereka ini sekaligus membuat mereka menolak Yesus.

Tuhan Yesus merasa heran karena hati orang-orang sekampung begitu keras dan tidak mengenal kuasa Allah di dalam diri-Nya. Mereka tidak percaya kepada-Nya. Tentu saja situasi ini tidak membuat Yesus sakit hati dan patah semangat dalam melayani. Dia tidak melakukan mukjizat di Nazaret tetapi masih menyembuhkan beberapa orang sakit dan meletakkan tangan atas mereka. Ini yang tentu berbeda dengan kita. Ketika kita marah kepada orang-orang tertentu atau merasa disakiti atau dikhianati maka kita tidak mau melayani orang-orang dimaksud. Hal ini berbeda dengan sikap Yesus. Dia ditolak di kampung halaman tetapi masih berbuat baik kepada mereka. Yesus bahkan masih berjalan keliling dari desa ke desa uhtuk mengajar dan berbuat baik. Inilah sikap positif yang harus kita miliki dalam hidup setiap hari.

Pengalaman Yesus di Nazaret mirip dengan pengalaman nabi Yehezkiel. Ia merasakan panggilan Allah: “Hai anak manusia, Aku mengutus engkau kepada orang Israel, kepada bangsa pemberontak yang telah memberontak melawan Aku. Mereka dan nenek moyang mereka telah mendurhaka terhadap Aku sampai hari ini juga. Kepada keturunan inilah, yang keras kepala dan tegar hati, Aku mengutus engkau dan harus kaukatakan kepada mereka: Beginilah firman Tuhan Allah. Dan baik mereka mendengarkan atau tidak sebab mereka adalah kaum pemberontak, mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka.” (Yeh 2:3-5). Sama seperti Tuhan Yesus yang mengalami penolakan di Nazareth sehingga membuat-Nya heran, demikian Yehezkiel mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan orang-orang Israel. Kekhasan orang Israel di mata Yehezkiel adalah mereka keras kepala dan tegar hati. Di sini butuh tugas kenabian untuk mengubah manusia lama menjadi manusia baru. Hal yang dilakukan Yehezkiel, disempurnakan Yesus dengan berkeliling dan berbuat baik. Yehezkiel dan Yesus tidak pernah putus asa dalam melayani orang-orang yang menyakiti mereka.

Apa yang harus kita lakukan dalam hidup kristiani kita?

Santu Paulus mengajak kita supaya belajar menjadi pribadi yang rendah hati, dengan tidak meninggikan diri. Menjadi pribadi yang rendah hati akan menjauhkan kita dari karakter manusiawi kita yakni keras kepala dan tegar hati. Orang yang keras kepala dan tegar hati akan menutup dirinya terhadap kasih karunia Tuhan. Paulus merasakan kehadiran utusan iblis yang selalu menggodanya. Dalam situasi yang sulit, Paulus selalu kembali kepada Tuhan, dan Tuhan berkata kepada-Nya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” (2Kor 12:9). Kuasa Allah menjadi sempurna di dalam diri Yesus Kristus. Tuhan Yesus tidak akan merasa heran dengan manusia ketika mereka patuh kepada-Nya dan berpasrah dalam hidup.

Pada hari ini, Tuhan Yesus merasa heran dengan kita. Banyak kali kita mengandalkan diri sendiri dan lupa bahwa Dia adalah satu-satunya penyelamat kita. Tinggalkanlah hidup lamamu dan terimalah hidup baru di dalam Kristus.

P. John Laba, SDB