Mengenang Reu Goen Jeremias Jena Langotukan

Mengenang Reu
Jeremias Jena Langotukan
Seorang anak kampung petarung sejati

Pagi ini dalam ibadat pagi, tanpa sengaja saya melihat kembali sebuah pembatas buku di brevir harianku, ada sebuah kutipan dari Kitab Mazmur: “Manusia sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat.” (Mzm 144:4). Sambil membaca kutipan Kitab Mazmur ini, saya membayangkan wajah para sahabat kenalan yang sudah dijemput oleh saudara maut selama beberapa hari terakhir ini. Saya tidak sempat membayangkan wajah seorang saudara dan sahabat saya dari masa remaja, Yeremias Jena Langotukan (52). Ternyata pada pagi hari ini Tuhan juga sudah mengirim saudara maut untuk menjemputnya dan mengalami keabadian bersama-Nya. Saya sungguh merasa kehilangan seorang saudara dan sahabat yang pernah hadir dalam hidup saya. Sambil memandang ke langit saya hanya berkata: “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1:21b).

Jena, nama yang selalu kami sapa sebagai kawan sekolah, kelahiran desa Atawatung, Ile Ape Timur, Lembata pada tanggal 23 Agustus 1969. Orang tuanya meninggalkan kampung halaman dan memulai petualangan baru, sambil mengadu nasib di daerah berbatu wadas Lamahora, sebuah daerah di pinggiran kita Lewoleba (saat itu). Di tempat inilah orang tuanya berkebun, beternak dan mengiris tuak. Jena sendiri tinggalkan SDK Yos Sudarso Atawatung setahun sebelum komuni pertama, dan melanjutkan pendidikannya di SD Inpres Lamahora hingga selesai. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri Lewoleba.

Perjumpaan pribadi saya dengan Jena adalah ketika bersama-sama menjadi pelajar di SMA negeri Lewoleba (sekarang SMAN I). Kami menjadi teman kelas yang baik dari kelas I-III SMA dan berada di satu jurusan yang sama. Apa yang saya ingat dari saudara Jena? Jena adalah pribadi yang menarik, mudah bergaul, senang bercanda dan beradu argumentasi. Ia melakukan perjalanan yang cukup jauh dari Lamahora ke Komak dengan bersepeda setiap hari untuk bersekolah. Saya terkesan dengan kepribadiannya dan menjadi sahabat baik sejak saat itu. Perlahan-lahan saya mengenal Jena sebagai pribadi yang baik dan cemerlang secara akademis. Dia merupakan salah seorang siswa berprestasi selama di SMA Negeri Lewoleba saat itu. Meskipun demikian, Jena tetaplah pribadi sederhana dan kami para sahabatnya senang untuk bergaul dengan dia.

Usai menamatkan sekolah Jena bersama saya juga dua teman lain yakni Bernardus, dan Marcianus memutuskan untuk masuk Kongregasi Salesian Don Bosco di Fatumaca, Timor Leste, tahun 1989. Bernardus hanya tingggal beberapa bulan lalu menarik diri dan masuk ke kongregasi OMI (kini beliau seorang imam dan sedang belajar di Filipina), Marcianus masuk O’Carm (kini guru sekolahan Damai dan katekis di Paroki MBK Jakarta Barat). Jena dan saya tetap menjadi anggota Serikat Salesian Don Bosco (SDB). Kami bersama-sama masuk sebagai Postulan pada tahun 1989. Pada saat itu Jena bertugas di Fuiloro, Lospalos sedangkan saya di Fatumaca, Baucau. Pada tanggal 13 Juni 1990, kami diterima untuk memulai pembinaan di Novisiat SDB Fatumaca dan mengikrarkan kaul pertama tanggal 13 Juni 1991. Jena melanjutkan studi di STF. Driyarkara Jakarta, setelah tahun ketiga ia melanjutkan TOP di Seminari Menengah Don Bosco Fatumaca dan kembali melanjutkan studi di STF. Dryarkara Jakarta dan selesai pada tahun 1997. Kami berdua berpisah pada tahun 1997, di mana Jena melanjutkan studi Teologi di Manila, Filipina sedangkan saya melanjutkan studi di Yerusalem, Israel. Jena melakukan discernment panggilan sebagai calon imam di dalam Kongregasi Salesian dengan baik dan memilih untuk melayani Gereja tanpa perlu mengenakan jubah putih dari luar Kongregasi. Dia mengundurkan diri saat berada di Teologi tahun kedua tahun 1999.

Usai meninggalkan Manila dan Kongregasi Salesian tahun 1999, Jena membuat sebuah pilihan yang tepat. Dia memilih untuk tetap tinggal di Jakarta sebagai anak perantau, sekaligus mengadu nasib. Ia mengatakan kepada saat itu: “John, saya sudah berada di luar biara dan sekarang sedang berusaha untuk menjadi manusia yang dewasa”. Jena memang memiliki bakat dalam hal tulis menulis maka dia mulai bertarung di dunia nyata. Ia pernah bekerja sebagai editor buku di sebuah penerbitan, sambil mencari biaya untuk melanjutkan studi di STF. Driyarkara Jakarta. Dia menyelesaikan studi S2 dalam bidang Filsafat tahun 2009 dan mulai mengajar sebagai dosen Filsafat dengan konsentrasi Etika di Universitas Atmajaya Jakarta, dan Universitas Bina Nusantara. Ia sempat melanjutkan studi dalam bidang etika biomedis di Universitas Katolik di Leuven, Belgia dan mendapat gelar Master of Science. Selama beberapa tahun terakhir ia melanjutkan studi S3 di STF Driyarkara dengan konsentrasi Etika kepedulian, namun belum selesai disertasi, beliau dipanggil Tuhan pada pagi ini.

Jena tetap berpegang teguh prinsipnya untuk melayani Gereja dari luar tanpa perlu berjubah putih. Ia menikahi Vero Koban dan dikarunia seorang puteri semata wayang. Sehari-hari Jena melakukan tugasnya sebagai pendidik di Universitas Atmajaya Jakarta, dia seorang akademisi sejati. Ia sangat menikmati dan menggeluti dunia etika sehingga sebagai dosen, ia pun terlibat dalam himpunan para dosen etika di Indonesia. Jena juga seoran awam yang hebat. Ia aktif sebagai katekis di Paroki. Ia pernah mengatakan kepada saya: “Pater John, saya memberi tangan sebelah saya untuk Gereja yang saya cintai sebagai katekis”. Ia juga seorang penulis buku seperti Santo Yohanes Bosco: Rasul kamu muda dan beberapa buku Filsafat lainnya, berbagai artikel yang dapat kita baca di Mingguan Hidup, Suara Pembaruan, Media Indonesia dan Kompas.

Saya teringat ketika dia lulus sertifikasi sebagai dosen, ia mengatakan kepada saya bahwa Tuhan sungguh baik baginya. Ia akan berusaha untuk mengabdi sebagai seorang pendidik dan tetap professional sebagai seorang awam katolik dalam hidup menggereja. Prinsip ini dipegangnya hingga saudara mau menjemputnya. Tentu saja semua yang sempat ingat tentang Jena menunjukkan sosok dirinya sebagai anak kampung, petarung sejati yang dapat menaklukan dirinya dan menaklukan hidupnya di diaspora, di tanah rantau.

Apa yang tetap saya ingat dari Jena?

Pertama, Jena tetaplah seorang sahabat yang sederhana dan rendah hati. Dia seorang dosen dan aktivis gereja yang tentu menyita banyak waktunya namun ia tetap focus pada keluarganya, juga para sahabat kenalan. Kadang-kadang saya mengirim pesan kepadanya dan dia pasti menjawabnya. Dia biasanya menelpon tanpa perlu menulis pesan. Ketika saya masih mengajar Filsafat di Dili, Jena selalu siap untuk mengirim jurnal-jurnal Filsafat yang membantu saya untuk mengajar. Dia menjadi teman diskusi, teman berdebat dalam berbagai hal, kadang dalam hal yang berkaitan dengan hidup saya sebagai seorang imam.

Kedua, Jena adalah pribadi yang selalu berkomiten untuk memanusiakan manusia muda. Dia menyiapkan bahan ajaranya dengan kreatif bagi para mahasiswanya, selalu mencari hal-hal terbaru untuk memanusiakan manusia muda. Di masa pandemic ini, Jena tetapi setia dengan webinar, entah sebagai naras umber atau sebagai moderator. Hingga wafatnya, ia adalah pahlawan tanpa tanda jasa di Atmajaya Jakarta.

Ketiga, Jena mengabdi bagi Gereja dan negara. Prinsipnya mengabdi Gereja tanpa harus berjubah dilakukannya dengan setia. Setiap akhir pekan adalah waktu untuk Tuhan. Dia mengabdi negara sebagai seorang pendidik dan kepeduliannya terhadap kampung halamannya di Pulau Lembata. Sejak persiapan otonomi Lembata, Jena termasuk salah satu sosok yang ikut menyumbang opini di tahun 1999 dalam majalah Lembata dan di ulang tahun Otonomi Lembata tahun 2021, ia juga menyumbang pikirannya dalam buku membangun Lembata tanpa sekat.

Pada hari ini Jena menjadi sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat. Dia sudah tidak merintih kesakitan di ranjang rumah sakit Atmajaya lagi. Dia sudah bersatu dengan sang pencipta. Dia sudah menjadi biji gandum. Dan “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). Selamat jalan saudara dan sahabat masa remajaku. Saya sahabat dan saudaramu yang akan merayakan misa requiem bagimu. Tersenyumlah, berbahagialah di surga bersama Bapa dan Putera dan Roh Kudus serta para kudus. Berbahagilah bersama ayah dan ibumu yang sudah menunggumu dan pasti mereka bahagia menjumputmu disana.

Tiga raksa, Tangerang, 21 Juli 2021

P. John Laba, SDB