Homili 3 September 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXII
Peringatan Wajib Gregorius Agung
Kol. 1:15-20;
Mzm. 100:2,3,4,5;
Luk. 5:33-39

Yesus adalah damai kita

Hari Jumat pertama di dalam bulan September, bertepatan dengan peringatan St. Gregorius Agung. Orang kudus yang pernah menjadi paus selama 14 tahun ini sangat inspiratif. Kita masih berada dalam bulan Kitab Suci Nasional, maka saya mengutip sebuah perkataan dari orang kudus ini: “Kitab Suci itu seperti cermin yang berada di depan mata pikiran kita. Di dalamnya kita melihat wajah batin kita. Dari Kitab Suci, kita dapat mempelajari kekurangan dan keindahan rohani kita. Dan di sana juga kita menemukan seberapa besar kemajuan yang kita buat dan seberapa jauh kita dari kesempurnaan hidup.” (The Holy Bible is like a mirror before our mind’s eye. In it we see our inner face. From the Scriptures we can learn our spiritual deformities and beauties. And there too we discover the progress we are making and how far we are from perfection). Gregorius Agung adalah servus servorum Dei, hamba dari para hamba Tuhan. Dari dirinya kita belajar untuk melayani dengan sukacita dan bersedia menjadi abdi Tuhan.

Santu Paulus menulis suratnya kepada jemaat di Kolose karena ada laporan yang didengar oleh Paulus dari Epafras (Kol 1:7-8) bahwa jemaat di Kolose jatuh dalam ajaran yang sesat. Mereka berpikir bahwa mereka lebih baik daripada orang lain karena mereka dengan hati-hati menepati tata cara-tata cara lahiria tertentu, menolak dari mereka keinginan jasmani tertentu dan menyembah para malaikat. Berkaitan dengan ini, St. Paulus berkata: “Karena itu janganlah kamu biarkan orang menghukum kamu mengenai makanan dan minuman atau mengenai hari raya, bulan baru ataupun hari Sabat; semuanya ini hanyalah bayangan dari apa yang harus datang, sedang wujudnya ialah Kristus. Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang pada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi, sedang ia tidak berpegang teguh kepada Kepala, dari mana seluruh tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya.” (Kol 2:16-19). Kehadiran Paulus sebagai pendamping setia coba mengarahkan mereka untuk kembali kepada Kristus. Mereka harus dapat merasakan ‘anggur baru’ dalam ‘kantong yang baru’.

Pada hari ini Paulus melanjutkan suratnya kepada jemaat di Kolese dengan seruan-seruan yang indah dan menguatkan. Paulus kembali menegasikan bahwa Allah tidak kelihatan dan Kristuslah gambar Allah yang kelihatan. Jadi fokus perhatian mereka yang sedang bergeser itu, ditata kembali oleh Paulus untuk kembali kepada Kristus. Mengapa Kristus begitu penting? Karena selain Dia sebagai gambar Allah yang kelihatan, Yesus Kristus juga merupakan sulung dari segala ciptaan. Di sini Paulus benar-benar membawa jemaat kepada Kristus ketika berkata: “Karena di dalam Dialah (Yesus) telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” (Kol 1:16).

Di samping segala ciptaan berfokus pada Tuhan Yesus Kristus, Paulus juga mengatakan bahwa Kristus adalah kepala atas jemaat yang tidak lain adalah tubuh atau Gereja. Dia adalah sulung dan pertama bangkit dari antara orang mati. Hanya di dalam Dia, seluruh kepenuhan Allah berkenan dan pada Dia yang tersalib, Allah mendamaikan segala sesuatu. Yesus Kristus adalah damai kita. Kita mendapat martabat baru sebagai anak-anak Allah karena jasa Yesus Kristus. Dia yang pada saat berada di atas kayu salib, masih ditikam tubuh-Nya dengan kejam oleh para algojo dan dari Tubuh-Nya yang kudus ini mengalir air dan darah, simbol sakramen pembaptisan dan Ekaristi. Damai sejati hanya ada pada Tuhan Yesus Kristus. Kita mengingat pesan-pesan damai dalam perjamuan malam terakhir: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yoh 14:27). Dan sungguh benar apa yang dikatakan Tuhan Yesus: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9).

Tuhan Yesus tidak hanya menjadi damai kita. Dia juga menjadi sumber sukacita kita karena Dialah mempelai dan kitalah sahabat-sahabat yang sedang dan selalu ada bersama dengan-Nya. Dalam bacaan Injil kita mendengar bagaimana para ahli Taurat dan kaum Farisi membandingkan para murid Yohanes Pembaptis dan kaum Farisi yang patuh pada hukum dengan berpuasa dan berdoa tetapi para murid Yesus malah makan dan minum seenaknya. Tuhan Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mewahyukan diri-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah mempelai dan kita adalah sahabat-sahabat mempelai yang bergembira. Ketika Yesus sang mempelai memasuki Paskah-Nya, saat itu kita juga ikut menderita bersama-Nya (berpuasa). Maka tinggal bersama Yesus berarti mengalami sukacita abadi.

Tuhan Yesus juga memberikan perumpamaan tentang kain baru dan kain lama. Kalau kain baru ditambal pada kain lama maka kain baru ikut tersobek. Anggur baru tidak dapat diisi dalam kantong kulit yang tua. Anggur baru akan mengoyakan kantong yang tua, anggur terbuang, kantong hancur. Anggur baru disimpan dalam kantong yang baru. Orang yang terbiasa meminum anggur tua akan tetap menyukai anggur tua sebagai yang terbaik. Anggur baru adalah segala rahmat Tuhan yang tercurah dari atas salib Kristus: air dan darah sebagai symbol sakramen pembaptisan dan Ekaristi. Anggur lama adalah mentalitas orang yang tidak mau berubah dan menerima perubahan. Mereka sudah nyaman dalam gaya hidup lama mereka. Jadi kalau seorang sudah terbiasa di dalam lumpur maka begitu susahnya untuk mau keluar dari lumpur.

Pada hari ini kita sangat dikuatkan, oleh Tuhan melalui sabda-Nya dan keteladanan orang kudus yakni Santo Gregorius Agung. Mari kita tetap bersuka cita di dalam Tuhan. St. Gregorius, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB