Homili 2 September 2021

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXII
Kol. 1:9-14;
Mzm. 98:2-3ab,3cd-4,5-6;
Luk. 5:1-11

Pendampingan itu perlu dan harus

Saya memiliki sedikit pengalaman dalam membina para calon imam, frater dan bruder di dalam kongregasi kami. Apa yang saya dengar dan rasakan sebagai seorang pembina sekaligus pendamping para calon? Ada sebuah pengakuan bahwa selama lebih dari beberapa dekade terakhir ini banyak terlihat titik-titik kelemahan (the fragility of vocation) yang secara sadar atau tidak sadar ditunjukkan oleh para imam, frater, bruder dan suster di berbagai kongregasi. Setelah ditelusuri, ternyata titik-titik kelemahan itu sudah ada atau sudah dimiliki oleh pribadi tersebut sejak masuk ke dalam komunitas dan memulai pembinaannya sebagai calon. Hanya saja para pembina sebagai sebuah team tidak memperhatikan dengan baik para calon, memeriksa surat rekomendasi tentang kelayakan sang calon dan memiliki waktu yang cukup untuk mendampingi mereka. Ada perkataan seperti ini biar diluluskan saja hingga kaul kekal atau menjadi imam, toh Tuhan akan mengubah mereka menjadi baik. Hanya saja setelah menjadi imam, atau biarawan dan biarawati, pribadi itu bukannya menjadi lebih baik malah menjadi semakin liar dan tidak fokus dalam hidup membiaranya. Tentu ini mengecewakan banyak orang yang berkorban bagi pembinaannya.

Salah satu kata yang menjadi pedoman bagi kami team pembina, adalah kata pendampingan atau accompaniment. Kata pendampingan ini mengandaikan kehadiran yang aktif dari para pembina di tengah-tengah mereka yang dibina (formandi). Kehadiran yang aktif juga menjadi sangat sulit pada masa kini. Para pembina terkadang masih sulit mendedikasikan dirinya bagi pembinaan para calon karena dia masih mengembangkan hobinya, masih focus pada gadgetnya, lebih nyaman di kantornya. Maka para formandi bisa merasa kurang disapa, kurang diperhatikan oleh para pembinanya. Kelalaian dari para pembina terutama dalam hal kehadiran aktif di tengah para calon atau formandi dapat berakibat fatal di masa depan. Para imam, biarawan dan biarawati yang dihasilkan terkesan rapuh. Dengan demikian dari pengalaman saya, pendampingan para calon imam dan biarawan dan biarawati memang perlu dan harus. Orang boleh keliru dalam hal lain, tetapi jangan pernah keliru dalam hal membina para calon atau formandi.

Pada hari ini saya sangat tertarik dengan sosok santo Paulus. Melalui suratnya kepada jemaat di Kolose kita melihat Paulus sebagai seorang pendamping sejati bagi jemaat yang sudah mendapat penginjilan. Nilai-nilai yang Paulus dan rekan-rekannya tunjukan kepada kita adalah kemampuan untuk mendengar umat yang sudah mereka Injili. Memang sangat sulit bagi orang untuk mendengar orang lain, apalagi orang kecil atau bawahan. Paulus dan rekan-rekannya, setelah mendengar, mereka mendoakan jemaat. Intensi doanya sangat jelas. Pertama, supaya umat mendapat hikmat dan pengertian tentang kehendak Allah dan kesempurnaannya. Kedua, Umat menghasilkan buah dalam segala pekerjaan baik dan bertumbuh dalam pengetahuan yanh benar tentang Allah. Ketiga, Umat mendapat kekuatan dari kemuliaan Allah. Keempat, Tuhan berkuasa untuk melakukan tranformasi dalam hidup manusia. Artinya Tuhan sendiri melepaskan umat dari kuasa kegelapan dan memindahkan ke dalam Kerajaan Anak-Nya. Dengan demikian mereka akan mendapat penebusan berlimpah.

Beberapa hal yang ditunjukkan Paulus ini bagi jemaat di Kolose merupakan pembelajaran yang luar biasa bagi para pendamping manusia muda. Tentu pendampingan tidak hanya bagi kaum berjubah. Pendampingan dibutuhkan oleh semua orang dalam hal ini kaum muda, anak-anak dan remaja di mana saja mereka berada. Paulus tidak melepas tangan tetapi tetap bertanggung jawab terhadap jemaat. Sikap Paulus ini mengikuti Yesus model pembina nomor satu bagi kita semua. Penginjil Lukas menceritakan bagaimana Yesus berdiri di pantai Danau Genesaret. Dia berdiri sambil melihat dan siap untuk mengajar. Di sini kita belajar dua kata penting yakni ‘mendengar’ dan ‘melihat’. Mendengar dan melihat adalah wujud nyata dari kasih sejati.

Dengan mendengar dan melihat maka Tuhan Yesus mengajak Simon untuk ber-duc in altum atau bertolak ke tempat yang lebih dalam. Di tempat yang lebih dalam inilah Simon dan kawan-kawannya di masa depan akan menjadi penjala manusia. Menjadi penjala manusia berarti mereka menjadi serupa dengan Tuhan Yesus untuk mewartakan Injil, dan mentranformasi hidup semua orang yang mereka layani supaya semakin beriman dan semakin sejahtera dalam hidupnya. Penjala manusia yang sukses adalah pribadi yang tahu diri sebagai orang berdosa di hadirat Tuhan dan siap untuk bertobat.Penjala manusia yang sukses adalah dia yang selalu siap untuk menjadi pendamping untuk mengubah sesama menjadi lebih baik lagi.

Pada hari ini kita bersyukur karena sosok Tuhan Yesus dan Santo Paulus yang mengubah hidup kita untuk menjadi serupa dengan mereka yakni selalu siap untuk mendampingi sesama yang sangat membutuhkan pendampingan. Jangan lelah untuk menjadi pendamping yang selalu hadir dengan aktif dalam menjalani tugas dan panggilan. Ketika kita sungguh-sungguh menjadi pendamping, kita juga berubah di dalam hidup menjadi lebih baik, lebih setia lagi dalam menjalani panggilan hidup kita.

P. John Laba, SDB