Homili 6 Oktober 2021

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXVII
Yun. 4:1-11;
Mzm. 86:3-4,5-6,9-10;
Luk. 11:1-4

Allahku panjang sabar dan berlimpah kasih setia

Pada hari ini saya merasa seperti sedang diingatkan oleh Tuhan untuk menjadi pribadi yang penyayang, pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Sebagai seorang gembala dan dipercayakan sebagai pembina para calon imam dan beruder di komunitas saya, saya harus jujur untuk mengatakan tentang pengalaman yang menantang ini. Memang seorang pembina haruslah penyayang, pengasih, panjang sabar dalam menghadapi para formandi generasi millennial yang mau menjadi imam dan bruder masa kini. Dibutuhkan juga kasih setia yang melimpah dalam hal yang nyata melalu keteladanan hidup. Saya berpikir bahwa saya tidak sendirian mengalami seperti ini. Para orang tua, para pendidik di Lembaga Pendidikan juga mengalami kesulitan yang sama ketika berhadapan dengan anak-anak muda dan remaja masa kini. Para dokter dan perawat juga mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan pasien yang rewel dan masuk rumah sakit kalau menunggu dalam keadaan sekarat. Komunikasi terkadang mandek karena orang dewasa, dalam hal ini orang tua, pendidik dan Pembina, dokter merasa bahwa anak-anak muda itu sama dengan dirinya. Padahal beda sekali. Nah disinilah butuh ‘panjang sabar’ dan ‘berlimpah kasih setia’.

Saya terinspirasi dengan sebuah doa dalam Kitab Mazmur yang mengatakan: “Engkau, ya Tuhan, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia.” (Mzm 86:15). Tuhan Allah yang diajarkan Yesus untuk menyapa-Nya sebagai Bapa menunjukkan diri-nya sebagai sosok Allah yang penyayang dan pengasihi, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Saya membayangkan kalau saja kita berusaha untuk semakin serupa dengan sifat Allah seperti ini maka keluarga, Lembaga Pendidikan, masyarakat dan bangsa kita tentu akan berubah menjadi begitu indah. Kasih dan kesabaran adalah dua hal yang saling melengkapi dan berasal dari Tuhan. Kita berusaha untuk menjadi serupa dengan Tuhan.

Tuhan Allah yang penyayang dan pengasihi, panjang sabar dan berlimpah kasih setia telah membuktikan diri-Nya pada Yunus. Setelah Yunus melakukan tugas kenabiannya, dia berpikir bahwa Tuhan akan melakukan apa yang dikehendakinya, dalam hal ini menghukum bangsa Niniwe. Tetapi ternyata sangat berbeda. Tuhan menunjukkan jati diri-Nya sebagai Kasih, Yunus menunjukkan kerapuhan manusiawinya. Dia tinggal dalam kekesalan dan kemarahan kepada Tuhan bahkan ingin mati. Tuhan Allah sendiri bertanya kepada Yunus, “Layakah engkau marah?” Tuhan Allah memang beda. Dia menyesal atas malapetaka yang dirancangkan-Nya bagi orang-orang Niniwe adalah tanda kasih dan kesabaran-Nya kepada manusia yang bertobat. Inilah tanda kasih setia dan kesabaran-Nya.

Pada saat ini, kita dapat merasakan dan mengalami Allah yang penyayang, pengasihi, panjang sabar dan berlimpah kasih setia dalam jalan pertobatan. Kita selalu memohon dengan doa Yesus: “Ampunilah kesalahan kami”. Tuhan pasti mengampuni kita maka kita juga harus menunjukkan karakter Allah yang penyayang, pengasihi, panjang sabar dan berlimpah kasih setia dengan ‘sebab kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami.” Tidaklah adil kalau kita memohon Tuhan mengampuni kita sedangkan kita tidak mengampuni sesama.

Kita bersyukur karena Sabda Tuhan benar-benar menjadi pelita bagi langkah kaki kita (Mzm 119:105) sepanjang hari ini. Semoga kita menjadi pribadi yang serupa dengan Allah bagi sesama kita. Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB