Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIX/B – 2021

Hari Minggu Biasa XXIXB
Yes. 53:10-11
Mzm. 33:4-5,18-19,20,22;
Ibr. 4:14-16
Mrk. 10:35-45

Selalu ada ambisi di antara kita!

Apakah anda memiliki ambisi di dalam hidupmu? Jawaban pastinya adalah setiap orang yang masih bernafas memiliki ambisi. Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai kata ambisi sebagai keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu. Menurut The Webster’s Dictionary, ambisi adalah keinginan yang kuat untuk memperoleh kesuksesan dalam hidup dan mencapai hal-hal besar atau baik yang diinginkan. Dari definisi kata ambisi ini maka semakin jelas bahwa kita semua yang masih bernafas memiliki ambisi-ambisi tertentu dalam hidup setiap hari. Maka jangan pernah membenarkan diri dengan mengatakan bahwa tidak ada ambisi dalam hidup pribadi.

Saya mengingat dua sosok yang inspiratif. Pertama, Helen Keller. Sosok yang pernah mengubah dunia ini pernah berkata: “Karakter seorang manusia tidak dapat dikembangkan dengan mudah dan tenang. Hanya melalui pengalaman ujian dan penderitaan jiwa dapat diperkuat, ambisi menginspirasi, dan keberhasilan yang dicapai.” Helen Keller berbicara dari pengalamannya sendiri. Keterbatasan yang dimilikinya bukanlah sebagai penghalang baginya untuk menjadi sosok yang mengubah dunia ini. Dia memiliki ambisi yang menginspirasi keberhasilannya. Dia tidak berhenti pada keterbatasannya tetapi justru keterbatasannya itu menjadi peluang baginya untuk berhasil. Sosok kedua adalah Sir John Lubbock (1834-1913). Negarawan dan bankir dari Britania Raya ini pernah berkata: “Ambisi kita seharusnya adalah untuk memerintah diri kita sendiri, kerajaan sejati bagi kita masing-masing; dan kemajuan sejati adalah mengetahui lebih banyak, dan menjadi lebih banyak, dan melakukan lebih banyak.” Ambisi bernilai positif ketika menjadi perintah bagi diri kita untuk mengetahui lebih banyak, menjadi lebih banyak dan mengetahui lebih banyak. Tentu saja semua ini berguna untuk kebaikan diri kita dan juga kebaikan sesama kita.

Pada hari ini kita coba masuk ke dalam komunitas Yesus. Kita pasti merasa heran karena ternyata di dalam komunitas Yesus juga terdapat murid-murid yang memiliki ambisi-ambisi tertentu. Anak-anak Zebedeus yakni Yakobus dan Yohanes memilikinya sehingga membuat teman-teman mereka marah. Mereka datang kepada Yesus dengan sebuah ambisi untuk meminta ‘kursi’. Mereka berkata kepada Yesus: “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu.” (Mrk 10:37). Tuhan Yesus sangat memahami para murid-Nya maka Ia berdialog dengan mereka sambil membawa mereka ke sebuah harapan yang lebih besar yakni bukan ambisi untuk mendapat kedudukan yang terpenting melainkan semangat untuk melayani bahkan menderita dan menyerahkan nyawa karena melayani sesama. Semangat inilah yang dimiliki Yesus dalam karya penebusan yakni Dia datang untuk melayani bukan untuk dilayani. Ini adalah sebuah ambisi yang positif yakni hasrat yang tinggi untuk melayani tanpa pamrih.

Pengalaman dalam komunitas Yesus bukanlah sebuah pengalaman baru. Nabi Yesaya juga merasakannya dalam usaha untuk mewujudkan semangat kenabian sebagai hamba yang siap untuk melayani, bahkan dalam situasi menderita sekalipun. Ada harapan yang pasti setelah melewati gerbang penderitaan yakni sang hamba melihat terang dan menjadi puas. Hamba Tuhan adalah orang benar dan sebagai orang yang benar, akan membenarkan banyak orang oleh hikmatnya, dan kejahatan mereka dia pikul (Yes 53:11).

Dalam bacaan kedua kita diajak untuk memadang Yesus sebagai sosok Imam Agung. Dia telah melintasi semua langit maka kita pun diminta untuk setia mengimani-Nya. Yesus adalah Imam Agung yang sangat solider dengan manusia yang lemah. Dia adalah Anak Allah yang ikut merasakan kelemahan manusia. Namun satu hal yang terpenting: Yesus adalah Anak Allah. Meskipun Ia dicobai tetapi Ia tidak berbuat dosa. Dia tetaplah ‘Yang Kudus’ dari Allah. Hal yang menarik perhatian kita: “Marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.” (Ibr 4:16). Sebuah ambisi positif yang patut kita miliki adalah bertahan untuk tidak jatuh ke dalam dosa.

Pada Hari Minggu Biasa ke-XXIXB ini kita juga merayakan Hari Pangan Sedunia (HPS). Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menetapkan tema HPS 2021 yakni “Membangun Ketahanan Pangan dan Gizi”. Tema ini merupakan sebuah ajakan bagi para pengambil kebijakan dan kita semua untuk memiliki sebuah ambisi yakni membangun sistem ketahanan pangan dan gizi yang bermartabat, mensejahterakan semua orang, menunjukkan solidaritas, dan memperhatikan yang miskin dan rentan, serta berkelanjutan (ekologis). Bagi umat di Keuskupan Agung Jakarta, Peringatan HPS tahun 2021 diselenggarakan dalam bingkai tahun pastoral yang ditetapkan sebagai Tahun Refleksi dengan tema “Semakin Mengasihi, Semakin Terlibat, dan Semakin Menjadi Berkat”. Tema ini tentu tetap menarik karena kita semua dipanggil untuk menunjukkan rasa empati kita kepada sesama. Ambisi kita adalah memiliki semangat Yesus untuk melayani lintas batas. Kita memiliki semangat Yesus sang Imam Agung untuk melayani sesama yang sangat membutuhkan bahkan melalui penderitaan dan nyawa sebagai tuntutannya.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip C. S. Lewis (1898-1963). Penulis dari Britania-Raya ini pernah berkata: “Rasa terima kasih melihat ke masa lalu dan rasa cinta untuk saat ini; sedangkan ketakutan, ketamakan, nafsu, dan ambisi melihat ke depan.” Kita harus berani untuk melupakan dan memandang masa depang dengan harapan untuk menjadi kebih baik lagi. Kita berempati dengan sesama yang sangat membutuhkan dan berusaha untuk mengentas mereka dari hidup mereka yang menderita. Tentu saja kita harus melayani lebih sungguh dan berempati.

P. John Laba, SDB