Kesetiaan itu mahal
Ada dua pengalaman yang sangat mengesankan saya. Pengalaman pertama, seorang bapa yang selalu menghadiri misa harian baik sebelum maupun selama masa pandemi ini. Saya bertanya kepadanya alasan mengapa ia setia mengikuti perayaan Ekaristi harian setiap hari. Jawabannya sungguh luar biasa: “Romo, setiap kali bangun pagi, saya selalu merasa bahwa ini adalah hari pagi yang terakhir bagi saya. Sebab itu sebelum memulai pekerjaan harian, saya berniat untuk mengikuti Ekaristi harian. Mungkin saja ini adalah pagi yang terakhir bagi saya maka saya mau menerima Yesus dalam Sakramen Mahakudus untuk terakhir kalinya.” Sungguh luar biasa jawaban yang sederhana dan sangat bermakna. Saya sebagai Romo yang merayakan Ekaristi setiap hari belum sempat berpikir sampai sejauh itu karena masih mau hidup seribu tahun lagi.
Pengalaman kedua, Saya pernah diundang oleh sebuah keluarga muda untuk memberkati ruang doa di rumah mereka. Ruang doa itu kelihatan lebih bagus dari semua kamar yang ada di rumah itu. Saya mendengar penjelasan yang bagus dari pasutri muda ini: “Kami sudah berkomitmen untuk menjadikan Tuhan sebagai pribadi nomor satu di rumah ini. Sebab itu kami membuat sebuah ruang doa yang terbaik untuk orang nomor satu dan berharap bahwa suatu saat kami juga akan memiliki sebuah ruang nomor satu bersama-Nya.” Ada kesetiaan dan harapan untuk hadir bersama Tuhan selamanya.
Kedua pengalaman ini sederhana tetapi berasal dari pengalaman rohani orang-orang sederhana yang percaya kepada Tuhan. Dan ini butuh kesetiaan untuk melengkapi sikap Kristiani yakni berjaga-jaga untuk menantikan kedatangan Tuhan. Tuhan Yesus berkata: Tetapi ketahuilah ini: “Jika tuan rumah tahu pukul berapa pencuri akan datang, ia tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu sangkakan.” (Luk 12:39-40). Tuhan Yesus menggunakan contoh pengalaman sederhana maraknya para pencuri di Palestian zaman itu, sehingga membuat pintu rumah mereka berukuran kecil dan sempit, ternak mereka juga dimasukkan ke dalam rumah hunian mereka. Semua ternak menghuni lantai dasar sedangkan keluarga menghuni loteng. Paling kurang bisa menjaga semua ternak mereka dari para pencuri yang datang kapan saja mereka mau.
Sikap mawas diri, berjaga-jaga itu butuh kesetiaan selamanya. Berjaga-jaga bukan untuk sehari saja tetapi selamanya, sepanjang hidup kita. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya Tuhan datang pada saat yang tidak kita ketahui. Santo Paulus mengatakan: “Karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam.” (1Tes 5:2). Hal yang mirip dapat kita baca di dalam Kitab Wahyu: “Karena jikalau engkau tidak berjaga-jaga, Aku akan datang seperti pencuri dan engkau tidak tahu pada waktu manakah Aku tiba-tiba datang kepadamu.” (Why 3:3).
Kita semua membutuhkan Tuhan untuk hadir sebagai Imanuel dan menolong kita supaya tetap setia dan berjaga-jaga dalam menanti kedatangan-Nya. Kesetiaan dalam hidup baik kepada Tuhan maupun kepada sesama itu mahal. Kita membutuhkan Dia untuk memerdekakan kita dari dosa supaya menjadi hamba Kebenaran (Rm 6:18). Kalau saja pagi hari ini adalah yang terakhir bagimu, apa yang kiranya anda lakukan dalam hidupmu? Tuhan memberkati kita semua.
P. John Laba, SDB