Pesta St. Simon dan Yudas Rasul
Ef. 2:19-22;
Mzm. 19:2-3,4-5;
Luk. 6:12-19
Semakin Setia dan berani dalam beriman
Hari Sumpah Pemuda. Saya mengucapkan selamat mengenang para pemuda di negeri ini yang pernah bersumpah dalam Kongres Pemuda yang kedua tanggal 27 dan 28 Oktober 1928. Dari kongreas kedua ini, para pemuda saat itu sepakat untuk bersumpah: “Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Para pemuda jauh sebelum kemerdekaan sudah mengaku bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, menjunjung Bahasa persatuan yaitu Indonesia. Nama Indonesia ini yang kita banggakan sebagai miliki kepunyaan kita, nama bangsa dan negara kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kita boleh berkata sekali lagi bersama banyak orang NKRI harga mati!
Saya membayangkan bahwa kalau para pemuda yang bersumpah ini sedang berada di sekitar kita maka mereka akan merasa kecewa dengan pemuda-pemuda Indonesia saat ini. Memang kita sangat menghargai para pemuda yang berjuang mati-matian hingga lahirlah reformasi 1998. Namun ada di antara mereka yang saat ini sudah kehilangan nuraninya sebagai pejuang muda 1998 karena kursi empuknya, dan mungkin saja menjadi pengkhianat karena melakukan korupsi dan Tindakan anti reformasi lainnya. Tetapi yang lebih parah adalah para pemuda masa kini yang berada dalam bendera BEM. Mereka adalah para mahasiswa yang tidak jelas perjuangannya ketika berdemo karena ternyata mereka juga tidak mengerti apa yang mereka perjuangkan. Terjadilah pelesetan yang memalukan yakni mahasewa, mahabego, mahanasbung dan masih banyak pelesetannya. Para mahasiswa zaman now merasa jagoan tetapi berperilaku bekicot karena perjuangan mereka ditertawakan orang. Mereka memperjuangkan apa yang tidak mereka mengerti. Mereka tidak cukup cerdas dalam perjuangan mereka.
Saya memulai renungan ini dengan mengutip sumpah pemuda untuk menginspirasi kita dalam merenung tentang bangsa dan negara kita tercinta ini. Di saat yang sama kita juga merenung tentang Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus Kristus. Untuk melanjutkan semangat-Nya maka Ia memilih dari banyak murid yang mengikuti-Nya, dua belas orang sebagai rasul atau utusan-Nya, termasuk di antaranya adalah Simon orang Zelot dan Yudas Tadeus. Saya mengingat bahwa dalam doa prefasi untuk rumusan para Rasul, para imam selalu mendoakan: “Engkau selalu melindungi kami lewat para rasul-Mu. Engkau telah melantik para rasul menjadi gembala yang memimpin kawanan-Mu, yaitu umat yang percaya kepada-Mu.” Dari doa ini, kita semua terinspirasi untuk memahami bahwa para Rasul adalah para pilihan Tuhan Yesus untuk melindungi, menjadi gembala baik dan pemimpin bagi kawanan umat yang percaya.
Penginjil Lukas hari ini mengisahkan tentang panggilan para rasul Yesus. Tuhan Yesus adalah pribadi yang bebas memilih para Rasul-Nya setelah mendoakan intensi ini semalam-malaman. Ia tidak berinisiatif sendiri tetapi Dia selalu bersatu dengan Bapa dalam Roh untuk memanggil para pilihan sebagai Rasul atau Utusan untuk meneruskan pekerjaan-pekerjaan-Nya. Satu hal yang penting adalah Tuhan Yesus tidak memilih orang-orang yang sempurna menjadi Rasul, Ia justru memilih mereka yang lemah untuk dikuatkan dan dikuduskan-Nya. Hal ini terjadi juga dengan dua Rasul yang kita kenang pada hari ini. St. Simon diberi tambahan nama orang Zelot artinya setia. Dia adalah pribadi yang setia kepada hukum-hukum Yahudi. Dia dipanggil Yesus untuk menjadi Rasul dan menjadi setia selamanya. Ia dengan kuasa Roh Kudus mewartakan Injil di Mesir, selanjutnya ke Persia dan wafat sebagai martir di sana. St. Yudas diberi tambahan nama Tadeus artinya pemberani. Yudas ini yang mengatakan kepada Yesus pada malam perjamuan terakhir: “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami, dan bukan kepada dunia?” (Yoh 14:22) dan Yesus menjawabnya: “Jika seseorang mengasihi-Ku, ia akan memelihara firman-Ku: dan Bapa-Ku akan mengasihinya, dan Kami akan datang kepadanya, dan tinggal bersamanya.” (Yoh 14:23). Simon dan Yudas mengasihi Yesus selamanya. Mereka bahkan wafat sebagai martir.
Paulus dalam bacaan pertama mengajak kita semua untuk selalu bersyukur kepada Tuhan Yesus sebagai Batu Penjuru bagi Gereja. Bersama Dia ada para rasul dan orang-orang kudus-Nya. Paulus berkata kepada jemaat di Efesus: “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan.” (Ef 2:19-21). Kita semua melalui sakramen Pembaptisan dan dengan kuasa Roh Kudus menjadi satu kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota keluarga Allah. Kita menjadi demikian karena sebagai Gereja, kita dibangun di atas dasar para rasul, para nabi dan Kristus Yesus. Paulus juga mengatakan: “Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangun menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.
Sambil mengenang kedua Rasul ini kita semua dikuatkan untuk menajadi pribadi yang setia seperti Simon dan pribadi yang berani seperti Yudas untuk menjadi saksi bagi Kristus dan Gereja-Nya. Menjadi pribadi yang setia itu sulit dan mahal namun kita harus berusaha menjadi demikian. Hanya pribadi setia yang merasakan apa artinya kasih dan kebahagiaan. Menjadi pribadi yang berani itu sulit apalagi berani bersaksi sebagai pengikut Kristus. Namun hanya orang beranilah yang tidak kehilangan nyawa karena kasih kepada Kristus. Pribadi yang setia dan berani menginspirasi kita untuk mencintai bangsa dan negara kita Indonesia seperti para pemuda dan sumpahnya 28 Oktober 1928.
St. Simon dan Yudas, doakanlah kami, doakan bangsa dan negara kami Indonesia. Amen.
P. John Laba, SDB