Homili 19 Juli 2022

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XVI
Mi. 7:14-15,18-20
Mzm. 85:2-4,5-6,7-8
Mat. 12:46-50

Membangun relasi kasih dengan Yesus

Relasi kasih dengan Yesus merupakan perkataan yang selalu diucapkan oleh kita semua ketika berefleksi sebagai orang yang mengimani Yesus sebagai satu-satunya Tuhan dan Penyelamat kita. Di dalam sakramen tobat orang selalu memeriksa batin tentang relasi pribadi atau relasi kasih dengan Tuhan Yesus. Ketika orang merenung tetang relasi ini dan menemukan bahwa dia memang tidak layak menerima Yesus dalam sakramen Mahakudus maka dengan sendirinya ia tidak menerima komuni kudus. Hal yang mirip saat ada bimbingan rohani. Orang pasti akan mengevaluasi dirinya di hadirat Tuhan, terutama relasi kasihnya dengan Tuhan. Ketika dia mengalami kesulitan maka ia akan membuka dirinya supaya membangin kembali relasi kasih dengan Tuhan yang lebih dahulu mengasihinya. Ada orang yang merasa optimis dalam membagun relasi kasih dengan Tuhan, misalnya kehidupan doa dan rohaninya baik. Ada juga yang mengalami kesulitan tertentu. Relasi dengan Tuhan menjadi suam-suam kuku atau superfisial. Ini tentu menjadi bahaya bagi orang beriman yang mau membagun relasi dengan Tuhan.

Ada juga orang yang tidak sekedar berbicara tentang relasi dengan Tuhan Yesus Kristus. Mereka berbicara tentang persaudaraan bersama dan dengan Yesus Kristus. Ungkapan yang terkenal adalah ‘di dalam Yesus Kritus kita bersaudara’. Tentu saja relasi persaudaraan kita tidak hanya berkaitan dengan sesama manusia tetapi bersama sesama manusia kita berelasi dengan Tuhan. Tuhan Yesus tetap menjadi pokok anggur dan kita menjadi ranting-renting-Nya. Terlepas dari Yesus kita tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika kita melakukan pekerjaan dengan mengandalkan diri sendiri, belum tentu kita melakukannya dengan sempurna. Ketika kita melakukannya dengan Tuhan maka pekerjaan itu benar-benar menjadi sempurna.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus yang sangat menarik. Ketika itu Tuhan Yesus sedang berbicara dengan orang banyak. Tentu saja sebagaimana kesaksian para penginjil bahwa ketika Tuhan Yesus mengajar maka orang banyak itu selalu merasa takjub dengan pribadi Yesus. Di saat yang sama, penginjil Matius mengisahkan bahwa ibu dan para saudara Yesus berdiri di luar rumah dan berusaha untuk menemui Dia. Memang ada berita yang beredar bahwa Yesus dan para murid melayani sampai lupa makan. Ada yang bahkan beranggapan bahwa Yesus sudah tidak waras lagi karena berperilaku demikian (Mrk 3:21). Kita bisa melihat betapa keluarga alamiah Yesus sangat bertanggung jawab dan mengasihi-Nya. Mereka mau membawa-Nya kembali ke Nazaret dari Galilea. Diceritakan bahwa salah seorang yang sedang mendengar pengajaran-Nya mengatakan bahwa ibu dan saudara-saudara-Nya berada di luar rumah untuk bertemu dengan-Nya.

Reaksi Yesus saat itu di luar ekspektasi para murid-Nya. Ia memandang mereka semua dan berkata: “Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?” (Mat 12:48). Dia memandang mereka satu persatu lagi dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Mat 12:49-50). Tentu saja reaksi Yesus ini di luar dugaan. Di pihak keluarga, yakni Bunda Maria dan saudara-saudara Yesus pasti merasa kaget dengan jawaban Yesus. Secara manusiawi kita berpikir bahwa Yesus menolak ibu dan saudara-saudara-Nya. Namun Yesus benar-benar memposisikan diri-Nya sebagai Allah Putra di hadapan manusia sebagai ciptaan. Bunda Maria tentu mengetahui reaksi Yesus ini dan saya merasa yakin bahwa ia menyimpan segala perkara di dalam hatinya yang murni. Para saudara Yesus mungkin hanya merasa bingung karena mereka mendengar Yesus mengatakan sesuatu yang berbeda. Para murid-Nya dan orang-orang yang sedang mendengar-Nya pasti merasa kaget karena Yesus menyapa mereka sebagai ibu dan saudara. Satu alasan yang disampaikan Yesus adalah karena mereka melakukan kehendak Bapa di surga.

Kisah Injil ini benar-benar berbicara tentang relasi kasih antara Yesus dan manusia, manusia dengan Yesus. Ada relasi keluarga asali yang berdasarkan darah dan keturunan seperti Bunda Maria dan para saudara Yesus, ada relasi baru bersama Kristus karena kemampuan untuk melakukan kehendak Bapa di surga. Relasi bersama Yesus menjadi semakin luas bukan semata-mata berdasarkan hubungan darah tetapi menjadi luas karena bersama Yesus kita melakukan kehendak Bapa di surga. Kehendak Bapa kepada kita adalah percaya kepada Tuhan Yesus dengan segala perkataan dan perbuatan-Nya.

Apa yang harus kita lakukan?

Untuk membangun relasi yang baik dengan Tuhan maka kita perlu dan harus membangun semangat pertobatan. Kita percaya bahwa Tuhan yang kita Imani adalah kerahiman. Tuhan adalah seorang gembala yang murah hati dan pengampun. Maka Dia sendirilah yang akan mengampuni dosa dan salah kita. Perkataan nabi Mikha yang sangat menguatkan kita untuk bertobat di hadirat Tuhan adalah: “Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. Kiranya Engkau menunjukkan setia-Mu kepada Yakub dan kasih-Mu kepada Abraham seperti yang telah Kaujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang kami sejak zaman purbakala!” (Mi 7:19-20). Tuhan itu Maharahim, penjang sabar dan besar kasih setia-Nya kepada kita. Pengalaman akan kasih dan kerahiman Allah membawa kita kepada usaha untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan Yesus. Relasi yang membentuk kita menjadi saudara Yesus.

P. John Laba, SDB