Homili 23 Juli 2022

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XVI
Yer. 7:1-11
Mzm 84:3.4.5-6a.8a.11
Mat. 13:24-30

Kesabaran itu mahal!

Apakah ada di antara kita yang pernah mendengar tentang toko yang menjual ‘kesabaran’. Kalau saja ada yang menjualnya, saya ingin membelinya. Tidak cukup untuk meminjamkannya dari orang lain. Kita harus memilikinya sendiri karena kesabaran itu mahal namun tetap berguna sepanjang hidup. Saya mengingat Friedrich von Schiller (1759-18050. Beliau adalah seorang penyair dan dramawan berdarah Jerman pernah berkata: “Hanya mereka yang memiliki kesabaran untuk melakukan hal-hal sederhana dengan sempurna yang akan memperoleh keterampilan untuk melakukan hal-hal sulit dengan mudah.” Saya sepakat dengan perkataan penyair ini. Memang, orang yang sabar dalam hidupnya akan melakukan hal-hal sederhana, lalu akan menjadi besar dan bermakna sepanjang hidup. Kesabaran adalah kebajikan yang penting dalam hidup. Percumalah hidup di dunia, sebagai ciptaan tetapi tidak memilki kesabaran dalam hidup. Adalah Arnold H. Glasow. Penulis berkebangsaan Amerika Serikat ini pernah menulis: “Kunci dari semua hal adalah kesabaran. Anda mendapatkan ayam dengan menetaskan telur, bukan membantingnya.” Kesabaran memang mahal dan tidak dapat dibayar dengan mata uang apapun. Pertanyaan bagi kita semua adalah apakah kita semua memulai hari ini dengan semangat kesabaran? Mungkin saja ada banyak orang yang merasa tidak sabar dengan dirinya dan tentu saja tidak sabar juga dengan sesamanya yang lain.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Yesus di dalam bacaan Injil yang sangat menarik perhatian kita semua. Dikisahkan oleh penginjil Matius bahwa Tuhan Yesus membentangkan sebuah perumpamaan tentang lalang yang hidup bersama dengan gandum. Gandum bertumbuh bersama dengan lalang, memiliki kemiripan yang besar sehingga hanya dikenal menjelang musim panen saja. Ternyata bukan hanya gandum dengan bulirnya yang besar, ada juga lalang yang memancarkan bunganya. Dengan melihat situasi ini maka para hamba atau pekerja datang kepada tuan sang pemilik ladang dan meminta supaya mereka dapat mencabut semua lalang yang ditaburkan musuh sehingga bertumbuh bersama sehingga menghambat pertumbuhan gandum. Ini merupakan permintaan yang mencerminkan jalan pintas dari pihak pekerja. Pemilik kebun itu menunjukkan kebijaksanaan-Nya dengan berkata: “Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu. Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai waktu menuai. Pada waktu itu aku akan berkata kepada para penuai: Kumpulkanlah dahulu lalang itu dan ikatlah berberkas-berkas untuk dibakar; kemudian kumpulkanlah gandum itu ke dalam lumbungku.” (Mat 13:29-30).

Kisah ini menunjukkan dua sosok yang berbeda satu sama lain. Sosok pertama adalah pemilik kebun. Dia memang mengetahui bahwa ada musuh yang menaburkan lalang namun dia bersikap tenang, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Dia begitu sabar dan penuh pertimbangan untuk hal yang terbaik bagi gandum. Dia mengambil keputusan bijak untuk membiarkan lalang dan gandum bertumbuh bersama. Sosok ini juga menunjukkan kesabarannya yang besar baik kepada musuh, para pekerja dan tanamannya. Sosok kedua adalah para hamba yang bekerja. Mereka sebelum bertindak dalam melakukan pekerjaan, mereka lebih dahulu bertanya dan meminta petunjuk. Kelemahan mereka adalah cepat mengambil jalan pintas karena mereka mau langsung mencabut lalang. Para hamba atau pekerja harus panda berefleksi. Sosok ketiga adalah musuh. Semua orang memiliki musuh. Musuh ini bermental bekicot karena ia datang malam-malam untuk menaburkan lalang. Dia tidak merasa bersalah padahal tindakannya merugikan sesamanya.

Ketiga sosok yakini pemilik atau tukang kebun, para hamba dan musuh adalah kita. Pikirkanlah bahwa dalam hidup kita, kadang-kadang menjadi bunglon, bisa menjadi pemilik kebun yang hebat, bisa menjadi hamba yang bekerja dan bisa juga menjadi musuh. Semua ini sering kita lakukan dengan sadar dan tidak sadar dalam hidup ini. Kita butuh Tuhan untuk menyadarkan kita dengan kebijaksanaan-Nya supaya kita juga dapat menjadi orang bijak.

Hal lain yang bagi saya menarik perhatian adalah tentang kesabaran Tuhan. Kisah Injil ini sebenarnya mau menunjukkan wajah Allah yang begitu sabar dengan manusia. Allah yang sab ar membiarkan manusia yang baik dan jahat hidup berdampingan. Dan terbukti bahwa begitu banyak orang jahat seperti lalang yang bisa berubah menjadi baik karena kebaikan orang-orang baik. Kebaikan mengubah kejahatan, orang baik mengubah orang jahat. Kesabaran Tuhan haruslah menjadi kesabaran kita. Lao-Zu (600SM) adalah Filsuf Tiongkok yang pernah berkata: “Saya mempunyai tiga hal untuk diajarkan, kesederhanaan, kesabaran, kasih sayang. Ketiganya adalah harta karun terbesar Anda.” Kesederhanaan, kesabaran dan kasih sayang membuka pintu kemanusiaan kita.

Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi pribadi yang sabar?

Kiranya nabi Yeremia dalam bacaan pertama memberikan kepada kita kiat-kiat yang baik untuk menjadi pribadi yang sabar. Pertama, Keabaran mengandaikan pertobatan yang radikal. Berkaitan dengan ini, Tuhan berkata, “Perbaikilah tingkah langkahmu dan perbuatanmu, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini.” (Yer 7:3). Kedua, Kesabaran mengandaikan sikap mawas diri terhadap situasi sehingga tidak jatuh ke dalam dosa. Ketiga, Kesabaran mengandaikan keadilan dan kebenaran. Tuhan berkata: “Tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain, yang menjadi kemalanganmu sendiri.” (Yer 7:6). Keempat, kesabaran mengandaikan sikap setia kepada Allah. Orang yang setia kepada Allah, tidak akan mudah menyembah berhala. Kiat-kiat kesabaran hidup ini di sampaikan Tuhan melalui nabi Yeremia. Kiat-kita ini menjadi pintu masuk bagi kita untuk menjadi pribadi yang sabar di hadirat Tuhan. Kesabaran Tuhan haruslah menjadi kesabaran kita saat ini.

P. John Laba, SDB