Homili 19 September 2022

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXV
Ams. 3:27-34
Mzm. 15:2-3ab,3cd-4ab,5
Luk. 8:16-18

Cahaya Yang Mengubah Hidup

Saya merasa yakin bahwa kita semua pernah mengalami hal-hal tertentu yang membuat kita sendiri menertawakan diri kita. Ada seorang sahabat yang bercerita bahwa pada suatu kesempatan dia sedang menyiapkan diri untuk melakukan perjalanan. Tiba-tiba lampu kamarnya padam, ia buru-buru mengenakan baju kaos kesayangannya dan merasa bahwa ia sudah menyisir rambutnya dengan rapi. Ketika sudah berada di dalam mobil ia baru menyadari bahwa baju kaos yang dikenakannya ternyata terbalik, yang bagian luar ada di dalam dan yang bagian dalam ada di luar. Rambutnya masih kelihatan acak-acakan. Ia menertawakan dirinya dan berusaha merapikan baju dan rambutnya. Lampu kamar dipersalahkannya. Cahaya lampu memang dibutuhkan untuk keperluan hidup kita. Tanpa ada cahaya maka yang ada pada kita ada kekurangan yang membuat kita menertawakan diri atau orang lain menertawakan diri kita.

Para murid Yesus adalah nelayan-nelayan tulen. Banyak kali mereka terlalu percaya diri, terlalu percaya pada pengalaman-pengalaman hidup mereka. Sebagai contoh, setelah Yesus wafat para murid Yesus mengalami krisis. Simon Petrus berencana untuk meninggalkan Yerusalem dan kembali menjadi seorang nelayan. Ia pun berkata kepada teman-temannya: ”Aku pergi menangkap ikan.” Kata mereka kepadanya: ”Kami pergi juga dengan engkau.” Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa.” (Yoh 21:3). Lihatlah bahwa pada malam yang gelap itu mereka mencari ikan. Mereka mengandalkan pengalaman hidup mereka sebagai nelayan sebelumnya namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Namun ketika senja sudah terbit, Tuhan Yesus menampakkan Diri kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk menebarkan jala di sebelah kanan perahu. Petrus dan keenam temannya berhasil menangkap 153 ekor ikan dan jala mereka pun tidak koyak (Yoh 21:4-6.11). Para murid kemudian menyadari pengalaman gelapnya malam tanpa Yesus dan pengalaman ketika fajar menyingsing dan hadirnya Yesus benar-benar mengubah hidup mereka. Pengalaman yang dialami oleh ketujuh murid Yesus ini semakin memperjelas perkataan Yesus sebelumnya: “Terlepas dari Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5).

Kita membutuhkan kehadiran Tuhan Yesus di dalam hidup kita. Dia sendiri berkata: “Aku ini cahaya dunia. Yang mengikuti Aku hidup dalam cahaya” (Yoh 8:12). Pengalaman para murid yang saya ceritakan kembali di atas menandakan bahwa Yesus benar-benar menjadi cahaya dunia. Tanpa Yesus, kita tentu tetap berada dalam kegelapan. Kita sulit untuk berubah. Kita tidak menyadari bahwa kita sedang berada dalam genggaman dosa. Kita membutuhkan Yesus yang satu-satunya terang yang menghalau kegelapan hidup kita. Kita membutuhkan Sabda Yesus yang menjadi pelita bagi langkah kaki kita (Mzm 119:105). Maka kebersamaan dengan Yesus dapat menjadikan kita menjadi cahaya bagi sesama yang lain. Tuhan Yesus bersabda: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat 5:16). Cahaya Tuhan Yesus nampak dalam perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan dalam hidup setiap hari.

Pada hari ini Tuhan Yesus hadir dan menyapa kita. Dia adalah cahaya yang menerangi hidup kita. Dia mengatakan kepada para murid-Nya: “Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan diketahui dan diumumkan. Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.” (Luk 8:16-18). Tuhan Yesus sedang menggunakan pengalaman hidup setiap hari untuk menerangkan kekuatan Sabda-Nya dan bagaimana para murid sadar diri untuk mewartakan Sabda kepada sesamanya.

Pelita adalah alat penerangan yang umum pada zaman dahulu. Orang yang menyalakan pelita akan meletakkannya di atas tempat yang tinggi supaya penghuni rumah dan orang di luar rumah melihat terang. Orang yang berada di dalam rumah saling melihat dan melayani, orang yang berada di luar rumah juga mengetahui bahwa di dalam rumah ada penghuninya. Setiap orang yang tinggal bersama di dalam satu rumah yang sama harus saling melayani satu sama lain, melakukan perbuatan-perbuatan baik di antara mereka. Hidup bersama, saling melayani dan mengasihi adalah ajaran dan harapan Tuhan bagi kita. kesaksian hidup yang sangat berarti bagi kita. Tuhan Yesus juga mengajarkan kita untuk mewartakan Injil atau sabda-Nya melakui perbuatan-perbuatan nyata kepada sesama manusia. Aspek pewartaan itu bisa kita lakukan ketika kita mendengar dengan baik sabda, merenungkannya dalam-dalam dan melakukannya di dalam hidup kita. Kemartiran atau kesaksian hidup kita nyata dalam perbuatan dan pelayanan kita setiap hari.

Kitab Amsal yang kita dengar pada hari ini ikut membantu kita untuk bersaksi bagi sesama kita. Kita mendengar nasihat yang indah sekali: “Anakku, janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya.” (Ams 3:27). Banyak kali kita membiasakan diri untuk menunda kebaikan terhadap orang yang menerimanya padahal ini keliru. Kalau mau berbuat baik maka mari kita melakukannya dengan tulus hati. Kitab Amsal juga mengingatkan kita supaya jangan merencanakan kejahatan, jangan bertengkar tanpa alasan dan jangan iri hati. Semua ini selalu terjadi dalam hidup kita. Kesaksian hidup yang benar adalah selalu melayani dan melakukan perbuatan baik kepada sesama. Ini adalah cahaya hidup yang benar yang bisa kita lakukan setiap hari. Kita sungguh membutuhkan Yesus dan sabda-Nya yang merupakan cahaya yang dapat mengubah hidup kita.

P. John Laba, SDB