Homili 23 Februari 2024 – St. Polikarpus

Hari Jumat, Pekan I Prapaskah
St. Polikarpus
Yeh. 18:21-28
Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8
Mat. 5:20-26

Menata rasa damai dalam hati

Pada hari ini kita mengenang Santo Polikarpus. Beliau adalah seorang Uskup Gereja perdana di Smyrna (Turki). Beliau juga dikenal sebagai seorang murid Santo Yohanes penginjil. Ia memimpin Gereja di Smyrna sampai meletusnya kekacauan yang didalangi oleh para musuh gereja pada tahun 155. Ia sendiri pun ditangkap oleh orang-orang itu. Ketika di tangkap, ia tidak memberikan perlawanan apapun, bahkan ia tersenyum dan menjamu para penangkapnya dengan makanan yang lezat. Kepada mereka, Ia berkata: Jadilah kehendak Tuhan atas diriku. Ia memohon agar kepadanya diberikan waktu sedikit untuk berdoa. Setelah itu, ia dibelenggu dan diarak ke tengah tengah orang banyak menuju kediaman prokonsul untuk diadili. Akhir hidupnya adalah sebagai seorang martir dengan dibakar hidup-hidup.

Ada dua kutipan perkataannya yang menarik perhatian saya karena berkaitan dengan masa prapaskah. Pertama, ia berbicara tentang upaya mengontrol diri supaya tetap murni dalam hidup ini. Ia berkata: “Waspadalah terhadap keserakahan dan tetaplah murni dan adil. Tahanlah dirimu dari segala kejahatan. Siapa yang tidak dapat menahan diri, bagaimana ia dapat mengajar orang lain untuk menahan diri?” Masa Prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk menjauhi keserakahan dan supaya tetap hidup murni di hadirat Tuhan dengan mengontrol diri dan bermatiraga. Kita selalu menghadapi godaan yang datang tanpa henti. Sebab itu kita harus berusaha untuk menjadi pribadi yang matang dalam menghadapi godaan-godaan kehidupan. Kedua, tentang keteguhan hidup. Santo Polikarpus menulis surat kepada jemaat di Filipi seperti ini: “Oleh karena itu, berdirilah teguh, dalam perilaku ini dan ikutilah teladan Tuhan, teguh dan tidak berubah dalam iman, pencinta persaudaraan, saling mengasihi, bersatu dalam kebenaran, saling membantu satu sama lain dengan kelembutan hati Tuhan, tidak memandang rendah seorang pun.”

Tuhan Yesus menyapa kita dalam bacaan Injil hari ini untuk hidup benar dan layak sebagai anak-anak Bapa di Surga. Kita tidak hanya sekedar mengklaim diri sebagai anak-anak Bapa di surga tetapi harus benar-benar hidup sebagai anak Bapa dengan mematuhi perintah-perintah-Nya. Kita tidak sekedar mengklaim diri sebagai pengikut Kristus, kita harus hidup selaras dengan Tuhan Yesus dan ajaran-Nya di dalam Injil. Hanya dengan demikian kita layak berada di dalam Kerajaan Surga. Hidup sebagai murid-murid Tuhan ditandai dengan usaha untuk membangun relasi yang baik dengan sesama yang ada di sekitar kita. Berkaitan dengan hal ini, Tuhan Yesus mengatakan kepada para murid-Nya tiga kata penting sebagai larangan yaitu marah, kafir dan jahil. Tuhan Yesus mengingatkan para murid-Nya supaya mereka jangan memarahi saudaranya karena mereka dapat memperoleh hukuman. Mereka jangan mengatakan saudaranya kafir karena akan dihadapkan kepada Mahkamah Agama, mereka jangan mengatakan saudaranya jahil supaya jangan diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Lalu apa yang harus dilakukan?

Para murid Kristus yang disapa ‘berbahagialah’ itu harus menata rasa damai dalam hatinya. Orang harus sadar diri bahwa damai dalam hati itu adalah sebuah anugerah yang dititipkan Tuhan kepadanya. Tuhan Yesus mengatakan kepada para murid-Nya: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yoh 14:27). Tuhan Yesus begitu percaya kepada kita sehingga Ia menitip damai sejahtera-Nya. Dan Ia juga berkata: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9). Orang yang menyadari dan percaya bahwa Tuhan adalah sumber damai dan bahwa Yesus Kristus adalah damai kita (Ef 2:14) maka ia akan mampu menata damai di dalam hatinya. Konsekuensinya adalah ketika ia memberi persembahan kepada Tuhan, ia tentu memiliki hati yang damai kepada Tuhan dan sesama. Seseorang tidak hanya bisa berdamai dengan Tuhan, ia harus mampu berdamai dengan sesama.

Hal lain yang dapat dilakukan oleh seorang murid Tuhan adalah kesediaan untuk membangun pertobatan diri. Orang berdosa yang bertobat dari segala dosanya, hidupnya akan berkenan kepada Tuhan Allah. Tuhan sendiri tidak akan mengingat dosa-dosanya lagi. Hal ini tentu saja akan berbeda ketika orang benar jatuh ke dalam dosa dengan berlaku curang kepada sesamanya. Orang benar yang jatuh ke dalam dosa akan mati di hadapan Tuhan karena ketidaksetiaannya kepada Tuhan. Di sini kita perlu melakukan pilihan-pilihan yang tepat yakni menata rasa damai dalam hati dan memperoleh keselamatan atau tidak setia kepada Tuhan sehingga kita menerima kematian.

Masa prapaskah menjadi masa untuk menata rasa damai dalam hati. Tuhan Yesus mendamaikan kita sebagai orang berdosa dengan Bapa di Surga. Mari kita belajar dari santo Polikarpus yang menata rasa damai dalam hatinya sehingga tidak segan-segan memberi dirinya sebagai martir dengan berkata: “Selama delapan puluh enam tahun aku telah melayani Kristus, dan Dia tidak pernah berbuat jahat kepadaku. Bagaimana mungkin aku dapat menghujat Rajaku yang telah menyelamatkan aku? …. Aku memuji Engkau yang telah membuat aku layak pada hari dan jam ini, sehingga aku dapat berada di antara para martir-Mu dan meminum cawan Tuhanku, Yesus Kristus.” Santo Polikarpus, doakanlah kami. Amen.

P. John Laba, SDB