Homili 27 April 2024

Hari Sabtu, Pekan IV Paskah
Kis. 13:44-52
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4
Yoh. 14:7-14.

Suka dan duka dalam bermisi

Kita berjumpa dengan Paulus dan Barnabas yang sedang melakukan perjalanan Misioner pertama (Kisah Para Rasul 13:4-14:26), yang diperkirakan dilakukan sekitar tahun 46-47M. Ketika itu Barnabas dan Paulus pertama-tama mengunjungi daerah asal Barnabas, Siprus, sebelum berlayar ke wilayah selatan Asia Kecil. Ketika mereka sampai di Perga di Pamfilia, Yohanes Markus meninggalkan kelompok ini dan kembali ke Yerusalem. Dalam perjalanan ke Antiokhia (di Pisidia), Ikonium, Listra, dan Derbe, Paulus dan Barnabas diusir dari setiap kota oleh para pemimpin agama Yahudi yang cemburu. Kemudian mereka kembali melalui rute yang sama, memperkuat gereja-gereja baru di sepanjang perjalanan. Dari Atalia mereka berlayar ke rumah mereka di Antiokhia di Siria. Ini benar-benar perjalanan misioner yang indah dan makna. Ada Antiokhia di Sira yang sangat menjanjikan perkembangan iman kristiani karena menjadi tempat pertama para perngikut Kristus disebut Kristen dan Antokhia di Pisidia yang menjadi saksi bisu di mana Barnabas dan Paulus di usir dengan keji. Paulus dan Barnabas bahkan mengebaskan debu kaki mereka di tempat-tempat ini. Namun satu hal yang indah di sana: “Murid-murid di Antiokhia penuh dengan sukacita dan dengan Roh Kudus.” (Kis 13:52). Ada sisi kebahagian di tanah misi, ada suka dan ada dukanya.

Apa yang membuat Paulus dan Barnabas tetap kuat dalam bermisi? Mungkin kita sendiri merasa bahwa Paulus Barnabas ‘agak laen’ dibandingkan dengan Yohanes Markus yang mengambil keputusan untuk kembali ke Yerusalem. Yah, mereka memang ‘agak laen’ karena rencana Tuhan memang sungguh luar biasa bagi mereka berdua. Pertama, bahwa Tuhan memberi mereka berdua ‘tugas khusus’ supaya setia mewartakan Kristus dalam situasi apapun. Kedua, Karena Tuhan Yesus sendiri mewahyukan diri-Nya, jauh sebelumnya: “Akulah Yesus yang kauaniaya itu.” (Kis 9:5). Kristus yang satu dan sama itu berkata: “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh 14: 7). Nah, sangat dibutuhkan iman dan kepercayaan kepada Kristis yang adalah Satu dengan Bapa atau sekurang-kurangnya mereka percaya kepada semua pekerjaan yang Bapa percayakan kepada-Nya (Yoh 14:11).

Mari kita merenung lebih dalam lagi di dalam perikop Injil hari ini. Dari perikop Injil hari ini, kita diundang untuk mengenali Bapa yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus. Filipus mengartikulasikan sebuah intuisi yang sangat adil: “Guru, tunjukkanlah Bapa kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” (Yoh. 14:8). Melihat Bapa berarti menemukan Allah sebagai asal mula, sebagai kehidupan yang mengalir, sebagai kemurahan hati, sebagai anugerah yang terus-menerus memperbarui segala sesuatu. Apa lagi yang kita butuhkan? Kita berasal dari Allah, dan setiap orang, meskipun secara tidak sadar, memiliki kerinduan yang mendalam untuk kembali kepada Allah, untuk menemukan kembali rumah kebapaan dan tinggal di sana selamanya. Di sana kita dapat menemukan semua harta yang mungkin kita perjuangkan: kehidupan, terang, cinta, damai… Santo Ignatius dari Antiokhia, seorang martir di awal abad kedua, mengungkapkannya dengan fasih: “Di dalam diriku ada air hidup yang berseru-seru di dalam diriku: ‘Datanglah kepada Bapa’!”

Yesus memberi kita gambaran sekilas tentang keintiman timbal balik yang mendalam yang ada di antara Dia dan Bapa. “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh. 14:11). Apa yang Yesus katakan dan lakukan berasal dari Bapa, dan Bapa sepenuhnya mengekspresikan diri-Nya di dalam Yesus. Apa pun yang Bapa ingin sampaikan kepada kita dapat ditemukan di dalam perkataan dan perbuatan Anak. Semua yang ingin Dia genapi bagi kita, Dia genapi melalui Anak-Nya. Percaya kepada Anak memungkinkan kita untuk memiliki “jalan masuk dalam satu Roh kepada Bapa” (Ef. 2:18).

Iman yang rendah hati dan setia kepada Yesus, pilihan kita untuk mengikuti dan menaati-Nya, hari demi hari, menghubungkan kita secara misterius tetapi sungguh-sungguh dengan misteri Allah, sekaligus membuat kita menjadi penerima semua kekayaan kebaikan dan belas kasihan-Nya. Iman ini memungkinkan Bapa untuk melaksanakan, melalui kita, karya kasih karunia yang telah Dia mulai di dalam Anak-Nya: “Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan” (Yoh. 14:12).

Suka dan duka dalam bermisi mengandaikan kesetiaan iman kepada Tuhan sendiri. Paulus dan Barnabas setia dan melakukan perutusannya sampai tuntas seperti yang dilakukan Kristus sendiri. Kita harusnya demikian juga.

P. John Laba, SDB