Hari Selasa Pekan II Paskah
Kis 4:32-37
Mzm 93:1ab,1c-2,5
Yoh 3:7-15
Semangat Sehati dan Sejiwa
Pentakosta adalah hari lahirnya Gereja kita. Para Rasul yang tadinya merasa takut dan bersembunyi, kini menjadi berani untuk keluar rumah. Mereka semakin berani untuk mewartakan Injil sebaga khabar sukacita. Tanda heran pun mereka dapat melakukannya dalam nama Yesus. Mereka sangat yakin dan percaya bahwa hanya dalam nama Yesus ada keselamatan. Narasi tentang pribadi Yesus dan Paskah-Nya diceritakan begitu menarik kepada banyak orang di Yerusalem sehingga mereka menerima dan percaya kepada Yesus. Jumlah mereka semakin bertambah dari saat ke saat. Semua ini bisa menjadi mukjizat yang nyata karena karya Roh.
Apa kekhasan atau keunikan dari orang-orang yang mendengar, menerima dan percaya kepada Yesus setelah mendengar pewartaan para rasul? Santo Lukas bersaksi dalam Kisah Para Rasul bahwa ‘kumpulan orang yang telah percaya kepada Yesus itu sehati dan sejiwa’ (Kis 4:32). Ini benar-benar sebuah bentuk kehidupan yang ‘agak laen’. Mengapa? Karena di antara mereka ada orang Yahudi, ada orang Yunani, ada orang Romawi dan bangsa asing lain yang percaya kepada Yesus memiliki satu semangat yaitu sehati dan sejiwa (Cor unum et anima una). Komunitas Gereja perdana menunjukkan semangat solidaritas dan subsidiaritas. Semangat solidaritas di tandai dengan habitus baru untuk saling berbagi sebagai tanda kepedulian. Semangat subsidiaritas ditandai dengan saling memperhatikan dari pihak yang lebih kuat dan kaya kepada mereka yang lemah dan miskin. Semua ini dapat terlaksana dengan baik karena kuasa Yesus ada dalam diri para rasul-Nya.
Satu tanda yang mempersatukan komunitas Gereja perdana adalah tanda salib. In Cruce salus, pada salib ada keselamatan. Tertulianus seorang Bapa Gereja pernah berkata: “Dalam semua perjalanan dan pergerakan kita, dalam semua masuk dan keluar rumah, saat memakai sepatu, saat mandi, saat makan, saat menyalakan lilin, saat berbaring, saat duduk, apa pun pekerjaan yang menyibukkan kita, kita menandai dahi kita dengan tanda salib.” – Tertulianus (sekitar tahun 250). Tanda salib sebagai tanda kemenangan kita sifatnya mempersatukan kita semua. Dalam perbedaan apapun, tanda salib membuat kita yang berbeda menjadi begitu bersaudara. Di tempat lain, santo Cirilius dari Yerusalem, seorang Bapa Gereja menulis: “Karena itu janganlah kita malu dalam mengakui Dia yang Tersalib itu. Jadilah salib sebagai meterai kita, yang dibuat dengan penuh keberanian oleh jari-jari kita di dahi kita dan dalam segala hal; di atas roti yang kita makan dan cawan yang kita minum, pada saat kita datang dan saat kita pergi; sebelum kita tidur, saat kita berbaring dan saat kita bangun; saat kita bepergian, dan saat kita beristirahat.” (sekitar tahun 386).
Semangat Gereja perdana merupakan sebuah bentuk kelahiran baru dalam Roh. Pengalaman Nikodemus dalam Injil Yohanes merupakan sebuah pengalaman Gereja sepanjang zaman. Dia hidup dalam kegelapan dan mengalami kelahiran baru dalam Roh karena ia berani datang dan mendekatkan dirinya kepada Yesus. Yesus adalah Terang dunia yang menerangi dan mengubah hidup manusia. Itulah hidup baru dalam Kristus yang bangkit yang dialami Nikodemus dan kita saat ini. Hidup baru menjadi semakin bermakna ketika kita semakin serupa dengan Yesus yang menderita, wafat dan bangkit dengan jaya.
Apa yang harus kita lakukan?
Gereja memiliki sifat khas yaitu satu, kudus, katolik dan apostolik. Sifat Gereja ini tetap ada selama-lamanya. Sifat yang sama ini mengikat semua anggota Gereja untuk bertumbuh dalam terang Tuhan, dan dalam membangun sikap solidaritas dan subsidiaritas. Sikap inilah yang tetap membuat seluruh umat Allah sehati dan sejiwa dalam keberagamannya. Saya mengakhiri homily ini dengan mengutip Paus Fransiskus yang mengatakan: “Solidaritas mengharuskan semua anggota masyarakat untuk meninggalkan sesuatu dan mengadopsi gaya hidup yang lebih sederhana untuk membantu semua orang yang membutuhkan.” Sedangkan subsidiaritas dipahami seperti ini: “Prinsip subsidiaritas mengakui bahwa kebaikan individu adalah yang utama dalam semua diskusi tentang organisasi sosial dan politik dan bahwa orang hanya dapat hidup dalam komunitas, yang oleh karena itu, memiliki barang-barang khusus mereka sendiri dan menjalankan kekuasaan atas nama mereka sendiri. Bagi Paus Fransiskus, subsidiaritas berarti ‘setiap orang memiliki peran dalam penyembuhan masyarakat.’ Kiranya perkataan ini sungguh menginspirasi kita.
P. John Laba, SDB