Hari Kamis, Pekan Paskah V
St. Atanasius
Kis 15:7-21
Mzm 96: 1-2a.2b-3.10
Yoh 15:9-11
Tinggal di dalam kasih Tuhan
Pada hari ini kita mengenang santo Athanasius. Bapak Gereja dan gembala di dalam Gereja ini pernah berkata: “Dia, Hidup dari semua, Tuhan dan Juruselamat kita, tidak mengatur cara kematian-Nya sendiri supaya Ia tidak terlihat takut akan kematian yang lain. Tidak. Ia menerima dan menanggung di atas kayu salib suatu kematian yang ditimpakan kepada orang lain, dan musuh-musuh-Nya yang lain, suatu kematian yang bagi mereka sangat mengerikan dan sama sekali tidak dapat mereka hadapi; dan Ia melakukan hal ini agar, dengan menghancurkan kematian ini, Ia sendiri dapat dipercayai sebagai Hidup, dan kuasa maut diakui sebagai sesuatu yang telah dihapuskan. Sebuah paradoks yang luar biasa dan dahsyat telah terjadi, karena kematian yang mereka pikirkan akan menimpa Dia sebagai penghinaan dan aib telah menjadi monumen agung bagi kekalahan maut.”
Perkataan Santo Athanasius ini semakin meneguhkan kita akan perkataan Tuhan Yesus tentang kasih dan kehidupan. Ia sendiri menegaskan bahwa diri-Nya adalah ‘Jalan, Kebenaran dan hidup’. Tidak ada seorang pun yang akan melampaui Yesus karena Dia adalah segalanya. Yesus sendiri mengalahkan kematian dan yang ada pada-Nya adalah hidup selama-lamanya. Benar kesaksiannya ini: “Ia (Yesus) sendiri dapat dipercayai sebagai Hidup”. Semua ini karena kasih. Tidak ada alasan lain lagi selain kasih.
Pada hari ini kita mendengar kelanjutan dari amanat perpisahan Tuhan Yesus tentang kasih. Sebuah kasih yang tiada bedanya dengan alegori pokok anggur dan ranting-rantingnya. Suatu kasih yang tidak ada pemisahnya sebab kasih semacam ini berbuah banyak. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Sama seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu, tinggalah di dalam kasih-Ku itu.” Relasi kasih antara Bapa dan Putera dalam Roh Kudus tidak hanya bagi mereka saja, tetapi relasi itu juga menyentu kedalaman manusia. Yesus sang Putera tidak hanya mengasihi manusia tetapi lebih dari itu, manusia tinggal dan mengalami sendiri kasih Kristus.
Para pengikut Kristus bukan hanya sekedar datang dan tinggal dalam kasih Kristus. Mereka juga dituntut untuk mengikuti perintah-perintah Tuhan Yesus dan dengan demikian dapat tinggal di dalam kasih Kristus sendiri. Logikanya sederhana saja, Yesus sebagai Putera Allah mampu mendengar Allah Bapa sendiri. Semakin Dia mendengar Bapa, semakin Dia menjadi taat kepada Allah Bapa. Semakin Dia mentaati Allah sebagai Bapa, Dia juga semakin mengasihi bahkan menegaskan bahwa Allah sendiri adalah kasih. Logika semacam ini juga berlaku bagi manusia. Semakin manusia mendengar Tuhan maka dia menjadi taat dan mampu mengasihi Tuhan. Dia juga melakukan hal yang sama dengan sesama manusia. Ketika manusia saling mendengar maka mereka akan saling mentaati dan dengan sendirinya saling mengasihi.
Santo Paulus dan Barnabas memiliki pengalaman yang sama. Mereka juga memiliki kemampuan untuk saling mendengar dengan baik, taat dan mampu mengasihi Tuhan dan sesama. Sikap ini mereka rasakan bersama ketika mengikuti Konsili pertama di Yerusalem. Mereka bersikap tenang dan siap untuk berdialog dengan para rasul selama Konsili Yerusalem berlangsung. Petrus sendiri menunjukkan sikap positifnya di hadapan Paulus dan rekan-rekannya. Perkataan Petrus sekalgis membuka pintu kasih dan persaudaraan adalah “Kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah”. Sikap dialogis Gereja ini semakin mengokohkan sifat Gereja yaitu satu, kudus, katolik dan apostolik.
Menjadi pertanyaan bagi kita adalah, apa yang dicapai oleh Konsili pertama di Yerusalem? Konsili pertama ini memutuskan bahwa orang-orang bukan Yahudi yang menjadi Kristen tidak diwajibkan untuk mematuhi sebagian besar aturan yang ditetapkan untuk orang Yahudi dalam Hukum Taurat, seperti hukum makanan Yahudi dan ritual khusus lainnya, termasuk aturan mengenai sunat bagi laki-laki. Semua orang haris menjadi saudara bukan lagi berdasar semata pada piikiran manusiawi saja. Konsili pertama ini merupakan perwujudan nyata bagi kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.
Saya menutup homili ini dengan sebuah kutipan perkataan indah dari santo Athanasius: “Tuhan tidak datang untuk membuat pameran. Dia datang untuk menyembuhkan dan mengajar manusia yang menderita. Bagi orang yang ingin memamerkan diri, hal itu hanya untuk tampil dan memukau orang yang melihatnya saja. Tetapi bagi Dia yang datang untuk menyembuhkan dan mengajarkan jalan, Ia datang bukan hanya untuk tinggal di sini, tetapi untuk menempatkan diri-Nya bagi mereka yang membutuhkan-Nya, dan untuk dimanifestasikan sesuai dengan apa yang dapat mereka terima, tanpa menodai nilai dari penampakan Ilahi dengan melebihi kapasitas mereka untuk menerimanya.”
Santo Athanasus, doakanlah kami. Amen
P. John Laba, SDB