Hari Kamis sesudah Rabu Abu
Ul. 30:15-20
Mzm. 1:1-2,3,4,6
Luk. 9:22-25
Beranikah Anda Memikul Salib?
Adalah santu Luis Monfortan. Orang kudus ini pernah berkata tentang salib. Menurut orang kudus sang pencinta Bunda Maria ini: “Salib adalah hadiah terbesar yang dapat diberikan Allah kepada umat pilihan-Nya di dunia. Tidak ada yang begitu penting, begitu bermanfaat, begitu manis, atau begitu mulia selain menderita sesuatu bagi Yesus. Jika Anda menderita sebagaimana mestinya, salib akan menjadi kuk yang berharga yang akan dipikul oleh Yesus bersama Anda”. Saya juga tertarik dengan perkataan santu Antonius Padua tentang salib. Baginya, “Orang Kristen harus bersandar pada Salib Kristus seperti halnya para musafir yang bersandar pada tongkat ketika mereka memulai perjalanan jauh”. Sungguh, in cruce salus, pada salib ada keselamatan dan memang hanya di dalam Yesus ada keselamatan (Kis 4:2).
Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus di dalam Injil Lukas. Ia mengatakan kepada murid-murid-Nya tentang penderitaan yang akan dialami hingga kematian-Nya di atas kayu salib. Dengan tanpa ragu dan takut, Tuhan Yesus menyampaikan para murid-Nya bahwa Ia sebagai Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan, penolalan dari para tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat lalu dibunuh dan bangkit pada hari yang ketiga. Kita bisa membayangkan bahwa tidak ada seorang pun di antara kita yang akan tulus dan jujur untuk mengatakan tentang penderitaan yang dialami secara pribadi. Kita memiliki rasa takut untuk menderita dan mati karena keinginan untuk hidup seribu tahun, meskipun pada akhirnya pasti berhafapan dengan kematian.
Tuhan Yesus tidak hanya berbicara tentang persiapan diri-Nya untuk menderita, sengsara dan wafat-Nya. Dia juga berbicara tentang kesiapan kita sebagai pengikut-Nya untuk mengikuti-Nya dari dekat. Apa yang harus kita lakukan? Tuhan Yesus mengingatkan kita bahwa untuk mengikuti-Nya dari dekat, kita harus menyangkal diri, memikul salib setiap hari dan mengikuti-Nya dari dekat. Apa maksud perkataan Tuhan Yesus bagi kita? Menyangkal diri berarti kita patuh kepada kehendak Tuhan dan tentu tidak mematuhi kuasa dosa. Menyangkal diri juga berarti kita bersedia untuk memiliki cara hidup yang berbeda dengan dunia yang kita huni. Memikul salib itu berarti kita mengerjakan semua tanggung jawab kita dengan sebaik-baiknya meski disertai penderitaan hingga nyawa sebagai taruhannya. Setiap orang memiliki salib yang berbeda-beda. Kita memiliki salib dan memikulnya berarti kita siap untuk menderita demi kebahagaan sesama yang lain. Ketika kita mampu menyangkal diri dan memikul salib dengan tulus dan setia maka dengan sendirinya kita akan berjalan bersama dengan Tuhan Yesus dan mengikut-Nya dari dekat. Memikul salib juga berarti bersedia menderita demi kesukaan hati Allah Bapa.
Mengapa kita harus menyangkal diri dan memikul salib hari demi hari? Hanya ada satu alasan yakni karena Tuhan lebih dahulu mengasihi kita. Musa dalam Kitab Ulangan mengingatkan bangsa Israel yang sudah merasakan kasih Tuhan supaya menjawabi kasih Tuhan itu dengan kembali mengasihi-Nya. Mereka diharapkan untuk mengasihi Tuhan dengan menyangkal diri, dalam hal ini kemampuan untuk mematuhi segala perintah, ketetapan dan peraturan dari Tuhan. Ini adalah sebuah bentuk penyangkalan diri di hadirat Tuhan. Kebinasaan akan datang ketika kita tidak mampu untuk menyangkal diri, misalnya berpaling dari Tuhan dan tidak mau mendengar-Nya, mau untuk disesatkan, dan menyembah berhala. Maka satu hal yang penting adalah kita siap untuk menaruh kepercayaan kepada Tuhan.
Pada masa Prapaskah ini kita menjadi peziarah harapan. Kita juga perlu dan harus berusaha untuk lebih peduli lagi kepada sesame yang lemah dan miskin. Pada saat ini kita sungguh dipanggil untuk menunjukkan kepedulian kepada saudara-saudara yang menjadi korban banjir, yang terkena PHK dan ketidakasilan sosial dalam hidup mereka. Kita boleh bertanya dalam diri kita, apakah kita siap menyangkal diri, memikul salib dalam ziarah harapan kita untuk bersikap peduli kepada sesama yang lemah dan miskin?
P. John Laba, SDB