Empati itu penting dan harus!
Santo Yohanes Bosco dikenal dalam Gereja sebagai Santunya orang-orang muda. Romo Diosesan Turin, Italia yang meninggal dunia pada tanggal 31 Januari 1888 itu mencurahkan seluruh hidupnya bersama dengan orang-orang muda yang miskin. Ia pernah berkata kepada orang-orang muda di oratoriumnya: “Bagi kalian saya hidup, bagi kalian saya belajar, bagi kalian saya bahkan menyerahkan nyawa saya.” Don Bosco mungkin terinspirasi dengan perkataan Tuhan Yesus: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang sahabat yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13). Ada dua hal yang menarik perhatian kita di sini. Pertama, Don Bosco memiliki sikap empati atau berbela rasa dengan kaum muda. Sebab itu Ia bahkan menyerahkan dirinya sampai titik darah penghabisan bersama orang-orang muda. Kedua, Tuhan Yesus memiliki sikap empati dengan semua orang. Ia berempati dengan orang-orang berdosa dan orang-orang baik dan benar. Ia mengasihi orang berdosa dan menghancurkan dosa-dosa yang membelenggu mereka. Sikap empati membebaskan setiap pribadi dari kuasa egosentris.
Empati itu penting dan harus bagi kita semua. Para suami istri perlu belajar berempati satu sama lain. Ingatlah saat-saat anda mengucapkan janji perkawinan di hadapan Tuhan: “…Di waktu sehat dan sakit, diwaktu susah dan senang, di waktu untung dan malang akan tetap selama-lamanya sampai maut sendiri datang untuk memisahkan satu sama lain”. Kata-kata ini hendak mempertegas bahwa empati itu harus berlangsung sampai selama-lamanya. Mengapa banyak keluarga yang bubar di pertengahan jalan, atau sekarang sedang berada di persimpangan jalan? Mungkin salah satu alasan adalah karena Santo Empati ini belum tinggal tetap di dalam hati setiap pribadi. Empati penting bagi orang tua terhadap anak-anak atau sebaliknya. Empati antara seorang pimpinan dan yang dipimpin atau sebaliknya. Sikap empati mengandaikan pemberian diri tanpa syarat atau perhitungan apapun.
Santu Paulus berkata: “Kami rela membagi dengan kamu bukan hanya Injil Allah melainkan juga hidup kami sendiri.” Wah luar biasa. Paulus tidak hanya puas mewartakan Injil Allah. Dia juga memberi dirinya, rela dicaci maki, dilempari batu bahkan dipenjara demi Injil Allah dan kasihnya sampai tuntas bagi Yesus Kristus. Banyak kali kita hanya menghitung waktu-waktu kehidupan yang berlalu bersama pribadi-pribadi tertentu. Ini bukanlah sebuah empati. Empati itu dalam suasana apa saja, kita tetapi menyatu. Paulus tidak hanya berkata tentang empati tetapi mempraktikkan sikap empati kepada jemaat yang dilayaninya.
Mari kita memeriksa hidup kita. Apakah kita berempati dengan sesama? Apakah kita berbela rasa dengan sesama? Pikirkanlah saat-saat anda lupa sehingga menertawakan saudaramu padahal ia sedang menderita. Pikirkan saat-saat dimana sikap egoismu lebih kuat sehingga tidak dapat berbela rasa dengan sesama yang sangat membutuhkan. Tuhan saja berempati dengan kita, bahkan rela menyerahkan Anak Tunggal-Nya, menderita bahkan wafat di kayu salib. Dialah Yesus yang berempati denganmu juga hingga saat ini.
Apa yang perlu kita lakukan? Ada dua hal penting, pertama, belajarlah untuk rendah hati. Jangan menjadi pribadi yang sombong. Bambu yang kita tanam, semakin tinggi dan matang, ia semakin menunduk. Kedua, semangat rela berkorban. Sikap empati itu nyata dalam pengorbanan diri. Milikilah kerendahan hati dan semangat berkorban maka dengan sendirinya anda berempati, berbela rasa dengan sesamamu.
PJSDB