Setangkai palma untukmu
Pagi ini saya menyiapkan diri untuk merayakan misa Hari Minggu Palma di Gereja Paroki. Ada sebuah pengalaman yang menyenangkan hati saya. Seorang anak muda membawa setangkai daun palma dan memberikannya kepada saya. Ia berkata: “Romo, ini adalah setangkai daun palma buat Romo”. Saya hanya tersenyum dan mengatakan kepadanya: “Terima kasih, tetapi saya yang memimpin misa maka pasti tidak sempat membawa daun palma ini ke altar”. “Tidak apa-apa Romo, yang penting ketika Romo kembali ke komunitas boleh membawanya.” Katanya dengan penuh keyakinan. Ini adalah sebuah pengalaman sederhana sebelum memulai misa di Gereja. Saya percaya bahwa Tuhan sedang menyapaku untuk mengerti dengan baik perayaan yang hendak kurayakan bersama umat.
Hari Minggu Palma adalah pintu masuk bagi pekan suci yang akan berpuncak pada Hari Raya Paskah. Fokus perayaan ini adalah mengenang Tuhan Yesus memasuki kota Yerusalem untuk menggenapi misteri paskah-Nya. Para penginjil Sinoptik, dalam hal ini Matius, Markus dan Lukas memiliki kemiripan dalam menjelaskan kisah Yesus ini. Kesan umumnya adalah Yesus memasuki kota Yerusalem, dielu-elukan di jalanan sebagai seorang raja yang jaya. Penginjil Matius bersaksi: “Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan”. (Mt 21:8). Penginjil Markus mengatakan: “Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang”. (Mrk 11:8). Sedangkan Penginjil Lukas: “Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan”. (Luk 19:36).
Lihatlah bahwa Injil Matius dan Markus sama-sama menceriterakan bahwa banyak orang menghamparkan pakaiannya di jalan, namun mereka tidak memegang daun palma. Mereka mengambil ranting-ranting pohon lalu menyebarkannya di jalan. Mereka tidak memegang dan melambaikan ranting-ranting pohon di pinggir jalan. Sedangkan Lukas tidak menceriterakan bahwa para murid Yesus yang mengiringi-Nya menyebarkan ranting-ranting hijau dan memegang daun palma. Mereka justru menghamparkan pakaiannya di jalan.
Berbeda dengan para penginjil Sinoptik. Yohanes sebagai penulis Injil keempat bersaksi: “Orang banyak mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru: Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” (Yoh 12:13). Kesaksian Yohanes ini sangat berbeda dengan Injil-Injil Sinoptik yang menceritakan tentang suasana sukacita orang-orang yang menyebarkan ranting-ranting pohon dan menghamparkan pakaian mereka di jalan yang dilewati Yesus.
Mengapa daun palma menjadi penting dalam perayaan hari ini? Daun palma itu selalu hijau sepanjang tahun. Maka ada simbol-simbol tertentu yang dapat membantu pemahaman kita dalam mengawali pekan suci ini: Pertama, daun palma yang berwarna hijau ini mengingatkan kita akan pengalaman sukacita dan kebahagiaan. Kita semua berbahagia karena Tuhan Yesus mengasihi kita apa adanya sampai tuntas (Yoh 13:1). Kedua, daun palma melambangkan damai. Orang-orang melambaikan daun palma untuk menyambut Yesus sang raja damai memasuki kota damai (Yerusalem). Damai adalah pemberian Tuhan (Yoh 14:27) dan kalau kita membawanya, kita adalah anak Allah yang bahagia (Mt 5:9). Ketiga, palma melambangkan kemartiran. Yesus memasuki kota Yerusalem untuk menjadi martir agung bagi kita. Sejarah Gereja mencatat bahwa darah mara martir itu adalah benih bagi iman Kristiani (Tertulianus).
Berkaitan dengan kemartiran, kita membaca dalam Kitab Wahyu: “Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka. Dan dengan suara nyaring mereka berseru: Keselamatan bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba!” (Why 7:9-10).
Mari kita berbagi setangkai palma dalam hidup kita: sukacita, damai dan kemartiran. Ini adalah pengalaman keseharian kita. Memang, hidup kita bermakna ketika kita bersukacita dan bahagia, kita hidup dalam damai dan ini adalah kemartiran kita setiap hari sebagai orang beriman.
PJ-SDB