St. Laurensius, Martir
Hari Sabtu, Pekan Biasa XVIII
2Kor 9:6-10
Mzm 112:1-2.5-6.7-8.9
Yoh 12:24-26
Kemartiran adalah bagian penting dalam hidup Kristiani. Di dalam Kitab Perjanjian Lama, para nabi menunjukkan kemartiran mereka dengan menumpahkan darahNya demi iman kepada Allah. Nabi terakhir yakni Yohanes Pembaptis mengalami kemartiran karena memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Yesus Kristus juga mengalami kemartiran. Ia justru menjadi martir agung sesuai dengan kehendak Bapa di Surga. Ia menderita, sengsara, wafat di kayu salib dan bangkit dari alam maut. Peristiwa paskahnya Yesus memberi kemenangan dan keselamatan kepada kita semua. Mengapa demikian? Karena dengan kebangkitan Kristus, kita semua juga mengalami kebangkitan badan. Memang akibat dari dosa adalah kita mati bersama Kristus, dan dengan kuasa Bapa, kita turut bangkit bersama Kristus.
Bagaimana menjelaskan pemikiran Yesus tentang kebangkitan badan? Penginjil Yohanes memberi kesaksian bahwa pada suatu ketika, menjelang akhir hidupNya, Yesus memberi wejangan kepada para muridNya: “Jikalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jikalau ia mati maka ia akan menghasilkan buah yang banyak”. Yesus mengambil sebuah contoh yang sederhana sesuai dengan situasi kehidupan agraris di Palestina. Gandum adalah tanaman pangan yang memberi hidup kepada mereka. Setiap biji gandum yang ditaburkan harus mati sehingga dapat menghasilkan tanaman gandum baru yang nantinya akan berbuah. Kalau biji gandum itu busuk maka tidak akan menghasilkan tanaman gandum baru. Kiranya contoh konkret ini membuka wawasan para murid tentang keselamatan.
Dengan mengambil contoh biji gandum, Yesus mau mengingatkan para murid untuk selalu siap siaga menjadi gandum Kristus. Ia berkata: “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup kekal”. Sama seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan tidak mati maka tentu ia tidak akan menghasilkan buah. Demikian terjadi juga dengan orang yang menyerahkan nyawanya untuk Yesus Kristus akan memperoleh hidup kekal. Hidup kekal berarti mengalami selamanya keberadaan dengan Tuhan. Berada bersama Tuhan berarti siap untuk menjadi seperti malaikat yang melayani Tuhan siang dan malam dan tentu akan dihormati Bapa.
Kemartiran sangat diperlukan di dalam Gereja. Gereja menjadi subur dan bertahan hingga saat ini karena kesaksian yang diberikan para martir, bahkan darah mereka pun ditumpahkan demi kasih yang sempurna bagi Kristus. Banyak di antara mereka menyebut diri mereka sebagai gandum bagi hewan liar dan buas. Martir adalah santapan lezat bagi kaum pendosa. Para martir memberi segalanya bagi Tuhan. Apakah kita juga dapat menjadi martir zaman ini karena cinta kasih kita kepada Kristus?
St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus mengatakan bahwa orang yang banyak memberi akan hidup dalam kelimpahan rahmat. Hal ini diumpamakan dengan orang yang menabur sedikit akan menuai sedikit. Orang yang menabur banyak akan menuai banyak. Orang harus memberi dengan kerelaan hatinya bukan karena terpaksa sehingga dia juga akan mendapat sukacita yang berlimpah. Tuhan sendiri murah hati maka kita juga bermurah hati adanya.Tuhan juga melipatgandakan dan menumbuhkan buah-buah kebenaran di dalam hidup manusia. Memberi diri sampai tuntas adalah satu bentuk kemartiran. 
