Hari Jumat, Pekan Biasa XVIII
Ul 4:32-40
Mzm 77:12-13.14-15.16.21
Mat 16:24-28
Ada seorang ibu yang pernah sharing pengalamannya bagaimana mendidik anaknya untuk mengenal Tuhan melalui segala ciptaanNya. Ia berkisah bahwa pada suatu malam ia mengajak anaknya duduk di luar rumah. Mereka memandang ke arah lautan yang luas. Tiba-tiba mereka melihat bulan muncul dari ujung langit, bentuknya sangat indah. Ada juga bintang-bintang yang lebih dahulu memberi terang. Semuanya begitu teratur dan indah. Ia berkata kepada anaknya bahwa semua yang mereka lihat itu sangat teratur karena ada seorang designer yang sangat jenius. Dia itu adalah Tuhan Allah yang menciptakan segala sesuatu. Dialah Alfa dan Omega. Pendidikan iman kepada anak-anak usia dini seperti ini menjadi ingatan baik bagi anak-anak sepanjang hidupnya. Ibu itu merasa senang karena anaknya dapat mengenal Tuhan dan rajin berdoa karena ia percaya kepada Tuhan sang Pencipta.
Kisah sederhana ini membantu kita untuk mengerti suasana umat Israel di padang gurun.
Tuhan sudah menegur dengan keras Musa dan Harun karena krisis iman yang mereka alami. Kepada mereka berdua, Tuhan Allah mengatakan bahwa mereka tidak akan ikut masuk ke tanah terjanji. Mereka akan meninggal dunia di padang gurun bersama generasi Israel yang lama. Tuhan juga murka terhadap umat Israel yang sudah melihat tanah terjanji dari kejauhan tetapi masih juga tidak percaya. Mereka masih menggerutu melawan Tuhan dan hambaNya Musa dan Harun. Terhadap situasi seperti ini, Tuhan juga menunjukkan kesabaran dan kekudusanNya di tengah-tengah mereka.
Tuhan Allah yang mereka imani adalah seorang Allah yang komunikatif. Ia senantiasa berbiacara dan mengajar Israel dari ujung langit. Ia memperlihatkan kuasaNya dengan api sebagai tanda. SuaraNya pun selalu didengar dari api yang yang sedang menyala. Semua ini dilakukan Tuhan karena Ia sangat mencintai Israel dan keuturunannya. Oleh karena itu hal terbaik yang harus dilakukan umat Israel adalah mengimaniNya. Mengimani berarti menerima Tuhan Allah sebagai satu-satuNya di dalam hidup dan tidak ada yang lain yang serupa denganNya. Musa juga berharap agar iman orang Israel kepada Yahwe ini akan tetap selama-lamanya hingga mereka mendiami tanah terjanji yang berlimpah susu dan madunya. Musa mengajar kaum Israel tentang Allah sebagai El Shaddai semata-mata karena Allah adalah kasih. Ia mengasihi manusia apa adanya maka jawaban yang tepat dari manusia adalah mengasihiNya juga.
Pada hari ini Penginjil Matius memberikan gambaran bagaimana mengasihi Allah dalam diri Yesus Kristus dengan segenap totalitas kehidupan kita. Tuhan Yesus memberikan syarat untuk menjadi murid yang terbaik: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku.” Menjadi murid Kristus berarti kita mampu menyangkal diri. Kemampuan untuk melupakan diri dan memperioritaskan Tuhan sebagai nomor satu di dalam hidup adalah tanda kasih kita yang total kepadaNya. Tuhan harus menjadi segalanya karena terlepas dariNya kita tidak dapat berbuat apa-apa. Memikul salib berarti mau menjadi serupa dengan Tuhan Yesus. Salib adalah pengalaman hidup yang keras, penderitaan tertentu yang bertujuan untuk membuat sesama berbahagia. Menyangkal diri dan memikul salib membuat kita menjadi semakin serupa denganNya. Ia berada di depan dan kita mengikutiNya, menjadi serupa denganNya. Inilah semangat pemuridan kita.
Yesus juga mengatakan bahwa barangsiapa mencintai nyawanya akan kehilangan nyawanya. Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Yesus, ia akan memperolehNya. Perkataan Yesus ini berdampak pada arah hidup kita yang sebenarnya. Kita hendaknya mengarahkan hidup dan karya kita untuk Tuhan. Para martir menyerahkan nyawa mereka untuk Tuhan dan mereka memperoleh kemenangan surgawi. Kita semua mengorbankan diri kita dalam karya pelayanan, dengan cara-cara tersendiri untuk melayani Tuhan dan sesama. Prinsip kita adalah, Tuhan menjadi segalanya dalam hidup kita. Kita menanti kedatanganNya yang mulia. Dialah El Shaddai, Allah mahakuasa.